Pages

Ads 468x60px

Jumat, 11 April 2014

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA

Oleh: Ronaldus S. Rilman, S.Pd.



A.      Latar Belakang
Dunia saat ini terasa kecil, hal ini tentu dipengaruhi oleh perkembangan globaisasi yang membawa kita pada tatanan dunia baru. Globalisasi melululantahkan negara-negara berkembang atau biasa disebut dengan negara peri-peri (negara pingiran). Dan salah satunya adalah negara Indonesia, globalisasi dalam pengertian yang lain merupakan problem sejarah. Dengan demikian negara atau bangsa manapun tidak akan bisa lari atau bersembunyi dari kejaran globalisasi.
Globalisasi dimaknai sebagai, kerja sama antara dua negara yang saling menguntungkan (ekonomi/bilateral). Dua negara yang secara ideologi, sosial, dan budaya yang tentunya berbeda. Oleh karenanya, globalisasi diharapkan mampu membawa dunia pada tatanan yang lebih bermartabat. Namun dewasa ini, globalisasi tidak lebih dari mesin pengerak para penganut paham kapitalis.
Harapan kita sebagai bangsa yang besar, yakni Bangsa Indonesia ialah lahirnya “Pendidikan Multikultural” sebagai perekat antara manusia Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke. Pendidikan Multikutural dianggap sangat penting bagi negara-negara yang secara keberadaannya majemuk dan menjadi satu tantangan tersendiri dalam mengelola pluralisme atas etnik atau kelompok yang ada.
Mengingat bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar maka sudah menjadi tangunggjawab bagi generasi saat ini dalam mempertahankan integritas bangsa kita. Di masa yang akan datang dunia mungkin berwajah ganda dan manusia tidak lagi dipandang sebagai senyawa dari manusia lainnya, melainkan seekor binatang (Homo-homenilupus).
Di dalam bukunya Samuel P. Huntington (Benturan Antara Peradaban), meramalkan bahwa akan terjadi benturan antara peradaban. Benturan itu disinyalir akibat beberapa faktor: politik, sosial, budaya, ekonomi, ras, bahkan agama.
Melihat fenomena tersebut, pendidikan di Indonesia haruslah peka menghadapi arus perputaran globalisasi. Pengalaman pahit semasa Orde Baru tidak  perlu berulang lagi. Pola pemaksaan kehendak oleh pemerintah untuk membentuk satu kehidupan yang seragam melalui aturan-aturan dalam segala aspek kehidupan perlu ditinjau ulang dan dipertanyakan.
Gelombang demokrasi menuntut pengakuan perbedaan dalam tubuh bangsa Indonesia yang majemuk. Oleh sebab itu pendidikan multikultural adalah jawaban atas beberapa problematika kemajuan itu. Perlu disadari bahwa proses pendidikan adalah proses pembudidayaan dan cita-cita persatuan bangsa merupakan unsur budaya nasional.
Pendidikan multikultural dapat dirumuskan sebagai wujud kesadaran tentang keaneka ragaman kultur, hak-hak asasi manusia serta pengurangan atau penghapusan bebagai jenis prasangka atau prejudise untuk membangun suatu kehidupan masyarakat yang adil dan maju. Pendidikan multikultural juga dapat diartikan sebagai strategi untuk mengembangkan kesadaran atas kebanggaan seseorang terhadap bangsanya (the pride in one’s home nation).
Di Indonesia pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, plural, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru diberlakukan sejak 1999 lalu hingga saat ini.
Sebaliknya, pada level nasional, berakhir sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan “monokulturalisme” yang nyaris seragam telah memunculkan reaksi balik, yang bukannya tidak mengandung sejumlah implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, juga terjadi peningkatan  gejala “provinsialisme” yang hampir tumpang tindih dengan “etnisitas”.
Kecenderungan ini, jika tidak dikendaikan akan dapat menimbulkan bukan hanya disintegritas sosial-kultural yang amat parah, bahkan juga disintegritas politik. Oleh karena itu pendidikan multikultural dapat menjadi mediator dalam upaya membingkai segala perbedaan dengan motto Bhineka Tunggal Ika.

B.       Rumusan Masalah
Dalam penulisan ini, penulis merumuskan beberapa masalah yang akan dikaji lebih jauh. Adapun rumusan masalah tersebut adalah:
1.      Apa pengertian pendidikan multikultural ?
2.      Apa itu paradigma pendidikan multikultural ?
3.      Bagaimana wacana pendidikan multikultural di Indonesia dan ?
4.      Apa itu Bhineka Tunggal Ika ?
5.      Bagaimana urgensi pendidikan multikultural di Indonesia?

C.      Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut di atas, adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui pengertian pendidikan multikultural?
2.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan paradigma pendidikan multikultural?
3.      Untuk mengetahui apa yang dengan wacana pendidikan multikultural di Indonesia?
4.      Untuk mengetahui apa itu Bhineka Tunggal Ika ?
5.      Untuk mengetahui urgensi pendidikan multikultural di Indonesia?





























BAB II
PEMBAHASAN


A.      Pengertian Pendidikan Multikultural
Sebagai sebuah wacana baru, pengertian pendidikan multikultural sesunggunya hingga saat in begitu jelas dan masi banyak pakar pendidikan yang memperdebatkannya. Namun demikian, bukan berarti bahwa defenisi pendidikan multikultural tidak ada atu tidak jelas. Sebetulnya, sama dengan defenisi pendidikan yang penuh penafsiran antara satu pakar dengan pakar lainnya di dalam menguraikan makna pendidikan itu sendiri.hal ini juga terjadi pada penafsiran tentang arti pendidikan multikultural.
Meminjam pendapat Andersen dan Cusher (1994:320), bahwa pendidikan multikultural dapat di artikan sebagai pendidikan keragaman kebudayaan. Kemudian,James Banks (1993:3) mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugrah tuhan/sunattullah).
Sejalan dengan pemikiran di atas, Muhemin el Mahady berpendapat, bahwa sederhana pendidikan multikultural dapat di definisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultur lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan (global). Hilda Hernandez mengartikan pendidikan multikultural sebagai prespektif yang mengakui realitas politik, sosial, ekonomi, yang di alami msing masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefeleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian pengecualian dalam proses pendidikan.
Pemikiran tersebut sejalan dengan pendapat Paulo Freire (pakar pendidikan pembebasan), bahwa pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan, menurutnya harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestasi sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang di alaminya.
Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktifitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992), sedangkan secara luas, pendidikan multikultural mencakup seluru siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya, seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial, dan agama.
James banks (1994) menjelaskan, bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu: pertama, content integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep dasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu. Kedua, the knowledge constrction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya kedalam sebuah mata pelajaran (disiplin). Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyusuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dalam segi ras, budaya (kultur) ataupun sosial (social).
Keempat, prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakterristik ras siswa dan menentukan pengajaran mereka. Kemudian, melihat kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiyatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif.   Dalam aktivitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (objek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan.
Oleh sebab itu, dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya, secara umum peserta didik memiliki lima ciri yaitu:
1.        Peserta didik dalam keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya.
2.        Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa.
3.        Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda-beda.
4.        Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individual.
Menurut Prof. HAR Tilaar, pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang “interkulturalisme” sesuai Perang Dunia (PD) kedua. Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengunggkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream.
Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream  yang dominan, yang pada akhirnya penyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi kedalam masyarakat maintream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti (difference),  atau politics of recognition (politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas).
Dalam konteks deskriptif, kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasai, HAM; demokrasi dan pluralitas, multikulturalisme, kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.
Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme; kedua, pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan; ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan; keempat, pendidikan dwi-budaya; kelima, pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.
Sebetulnya, konsep pendidikan multikultural, utamanya di negara-negara yang menganut konsep demokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukan hal yang baru lagi. Mereka telah melaksanakannya khususnya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit putih dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional.
Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru pasca kemerdekaannya pada 4 Juli 1776 baru disadari bahwa, masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal negara yang berbeda (Amerika mencari terobosan baru yaitu dengan strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan).
Di Indonesia sendiri gagasan pendidikan multikultural lahir dilatarbelakangi oleh globalisasi. Menurut HAR Tilaar, bangsa yang tidak punya strategi untuk mengelola kebudayaan yang mendapat tantangan yang demikian dahsyatnya, dikhawatirkan akan mudah terbawa arus hingga akhirnya kehilangan jati diri lokal dan nasionalnya.
Hal senada juga dikatakan Rektor UNJ, Prof. Dr. Subjipto, dan Dr. Cutkamaril Wardani.  Ia berpendapat, bahwa globalisasi sebagai tantangan global perlu diimbangi dengan penguatan budaya lokal (local culture). Namun demikian, fanatisme berlebihan pada budaya lokal beresiko menimbulkan disintegrasi bangsa. Maka, fanatisme dan primordialisme selayaknya dikikis habis. Di sinilah urgensi pendidikan multikultural untuk dihadirkan dalam dunia pendidikan kita saat ini.
B.       Paradigma Pendidikan Multikultural
Dalam buku paradigma pendidikan universal (yogyakarta; IRCiSoD, 2004), Ali Maksum menggambarkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis. Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan, dan budayanya. Sebentara, dalam prespektif vertikal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan, dan tingkat sosial budaya.
Seperti diketahui, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau terbesar di Dunia, yang mencapai 17. 667 pulau besar dan kecil (dengan demikian kemajemukan bangsa Indonesia merupakan anugrah Tuhan). Karena itulah, Usman Pelly (1988) menyatakan bahwa, meskipun setiap warga negara Indonesia (WNI) berbicara dalam satu bahasa Nasional, namun kenyataannya terdapat 350 kelompok etnis, adat istiadat, dan cara-cara sesuai dengan kondisi lingkungan tertentu.
Pada satu sisi, kemajemukan masyarakat side effect (dampak)  secara positif. Namun pada sisi yang lain, ia juga menimbulkan dampak negatif, karena faktor kemajemukan itulah justru terkadang sering menimbulkan konflik antara kelompok masyarakat. Pakar pendidikan, Syafri Sairin (1992), memetakan akar-akar konflik dalam masyarakat majemuk, yakni: (1) perebutan Sumberdaya, alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi (acces to economic); dan (3) benturan kepentingan politik, ideologi, dan agama (conflict of political, ideologi, and religious interest).
Dalam menghadapi pluralisme budaya tersebut, diperlukan paradigma baru yang lebih toleran, yaitu paradigma pendidikan multikultural. Paradigma pendidikan multikulturalisme tersebut penting, sebab akan mengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan toleran inklusif terhadap realitas masyarakat yang beragam, baik dalam hal budaya, suku, ras, etnis maupun agama.
Paradigma ini dimaksudkan bahwa, kita hendaknya apresiatif terhadap budaya orang lain perbedaan dan keberagamaan merupakan kekayaan dan khazanah bangsa kita. Dengan pandangan tersebut, diharapkan sikap eksklusif yang selama ini bersemayam dalam otak kita dan sikap membenarkan pandangan sendiri (truth claim) dengan menyalahkan pandangan dan pilihan orang lain dapat dihilangkan atau diminimalisir.
Banyak bukti di negeri ini, tentang kerusuhan dan konflik yang berlatarbelakang SARA (suku, adat, ras, dan agama). Fakta tersebut sebetulnya menunjukan kegagalan pendidikan dalam menciptakan kesadaran pluralisme dan multikulturalisme. Pada dasarnya, manusia diciptakan Tuhan dengan berbeda jenis kelamin, bangsa, suku, warna kulit, budaya dan sebagainya, dan agar diketahui bahwa orang yang paling mulia disisi Tuhan adalah yang paling baik perbuatannya (betaqwa).
Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri:
1.         Tujuannya membentuk “manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya (berperadaban)”.
2.         Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (kultural).
3.         Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalisme).
4.         Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Menurut M. Khoirul Muqtafa (2004), paradigma multikultural yang marak didengungkan sebagai langkah alternatif dalam rangka mengelola masyarakat multikultural seperti di Indonesia tampaknya masih menjadi wacana belaka. Sejumlah kebijakan politik yang sangat sentralistik pada masa Orde Baru yang memaksakan ideologi “monokulturalisme” yang nyaris seragam, seperti, developmentalisme dan univormitas, merupakan buktinyata.
Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan sejak 1999, terjadi peningkatan gejala “provinsialisme” yang hampir tumpang tindih dengan “etnisitas”. Politik identitas kelompok, seiring dengan mengejalanya kumunalisme, makin menguat. Konflik antara suku maupun agama muncul bak cendawan dimusim hujan. Kesatuan dan persatuan yang diidam-idamkan selama ini ternyata semu belaka. Yang mengemuka kemudian adalah kepentingan antara suku, daerah, ras, ataupun agama dengan mengenyampingkan realitas atau kepentingan yang lain.
Pengelolaan masyarakat multikultural Indonesia tidak bisa dilakukan secara taken for grantet atau trial and erorr. Sebaliknya, harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated, dan berkesinambungan (continue). Di sinlah fungsi strategis pendidikan multikultural sebagai sebuah proses dimana seseorang mengembangkan kompetensi dalam beberapa sistem standar untuk mempresepsi, mengevaluasi, meyakini, dan melakukan tindakan.
Dalam melasanakan pendidikan multikultural ini meski dikembangkan prinsip solidaritas. Solidaritas menuntut agar kita melupakan upaya-upaya penguatan identitas; melainkan menuntut kita agar berjuang demi dan bersama yang lain. Dengan berlaku demikian, kehidupan multikultural yang dilandasi kesadaran akan eksitensi diri tanpa merendahkan yang lain diharapakan segera terwujud.
C.      Wacana Pendidikan Multikultural Di Indonesia
Hingga saat ini, pendidikan multikultural di Indonesia belum tuntas dikaji oleh berbagai kalangan, termaksud para pakar dan pemerhati pendidikan sekalipun.  Perlu diketahui, bahwa di Indonesia pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, plural. Terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru diberlakukan sejak 1999 hingga saat ini. Yang apabila dilaksanakan dengan tidak berhati-hati, justru akan muncul menjerumuskan kita pada perpecahan nasional (disintegrasi bangsa dan separatisme).
Pelaksanan otonomi daerah ini merupakan perubahan pemerintahan yang sangat drastis. Akibat pelaksanaan otnomi daerah, posisi pemerintah jauh berbeda dan lebih kuat daripada masa Orde Baru. Dampak otonomi daerah dalam konteks nyata bertujuan untuk menyajikan kompilasi studi kasus tentang konflik dan perubahan disekitar devolusi kekuasaan pada era otonomi daerah.
Selama ini, kebudayaan lokal dan identitas daerah cenderung dianggap sebagai contoh keanekaragaman budaya dalam kesatuan Indonesia sebagaimana dimaksud Taylor (1994) dalam istilah “kebudayaan nusantara”. Pada masa Orde Baru, kebudayaan lokal dan adat istiadat dipamerkan sebagai objek wisata di museum provinsi (Acciaioli 1985, 2001; Pemberton 1994; Robinson 1997). Kebudayaan dan identitas lokal dianggap sebagai “tontonan” yang hanya dilihat sebagai lembaga kesatuan Indonesia.
Tetapi, konflik etnis dan gerakan separatis yang sedang terjadi di Indonesia menunjukkan perlunya pendekatan multikultural dan pengertian bahwa identitas daerah dan prespektif lokal harus menjadi pola dasar bagi kajian analisis politik dan budaya Indonesia. Kemudian, dalam tulisan Dedi Adhuri membahas dampak UU No.5/1979 tentang pemerintah desa melalui kasus pemilihan pasirah di Sumatera Selatan. Telah lama terdapat asumsi bahwa Undang-undang yang diberlakukan pada masa Orde Baru mengakibatkan kelemahan dan kehancuran hukum adat yang berlaku dikomuniti setempat.
Tetapi, menurut analisis Adhuri, kehancuran hukum adat mendahului dikeluarkannya Undang-Undang No.5/1979. Ketidakpuasan di daerah diduga mengakibatkan timbulnya gerakan “separatisasi” dibeberapa wilayah di Indonesia. Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan “monokulturalisme” yang nyaris seragam, munculnya reaksi balik, yang mengandung implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural.
Model pendidikan di Indonesia, juga di negara-negara lain, menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Sejumlah kritikus melihat bahwa refisi kurikulum yang dilakukan dalam program pendidikan multikutural di Inggris dan beberapa tempat di Australia dan Kanada, terbatas pada keragaman budaya yang ada; jadi, terbatas pada dimensi kognetif.
Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multikultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termaksud revisi buku-buku teks. Di jepang, aktivis kemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah, terutama yang menyangkut perang jepang pada Perang Dunia II di Asia. Walaupun  belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagian masyarakat akan pentingnya prespektif baru tentang perang, agar tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali.
Sementara, di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latar belakang, suku agama, budaya, dan etnis. Di Indonesia juga memerlukan materi pembelajaran yang bisa mengatasi “dendam sejarah” diberbagai wilayah. Model lainnya, pendidikan multikultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaran, tetapi juga melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri.
 Affirmative Action dalam seleksi siswa sampai rekruitmen tenaga pengajar di Amerika adalah salah satu strategik untuk membuat perbaikan ketimpangan struktur terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model “sekolah pembaharuan” Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi intraksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok.
Di Amerika Serikat, bersamaan dengan masuknya wacana tentang multikulturalisme, dilakukan berbagai macam lokakarya di sekolah-sekolah maupun masyarakat untuk meningkatkan kepekaan sosial (sense of crisis), toleransi dan mengurangi prasangka antara kelompok. Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti di ajukan Gorski, pendidikan multikultural mencakup: (1) Transormasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat.
Selain itu, wacana pendidikan multikultural dimungkinkan akan terus berkembang seperti bola salju (snow ball) yang menggelinding semakin membesar dan ramai diperbincangkan. Dan yang lebih penting dan kita harapkan adalah wacana pendidikan multikultural akan dapat diberlakukan dalam dunia pendidikan di negeri yang multikultural ini. Apakah nantinya terwujud dalam kurikulum, materi, dan metode, ataukah dalam wujud yang lain.
D.      Pentingnya Bhineka Tunggal Ika
Arti Bhinneka Tunggal Ika adalah berbeda-beda tetapi satu jua yang berasal dari buku atau kitab sutasoma karangan Mpu Tantular/Empu Tantular. Secara mendalam Bhineka Tunggal Ika memiliki makna walaupun di Indonesia terdapat banyak suku, agama, ras, kesenian, adat, bahasa, dan lain sebagainya namun tetap satu kesatuan yang sebangsa dan setanah air. Di persatukan dengan bendera, lagu kebangsaan, mata uang, bahasa dan lain-lain yang sama.
Kata-kata Bhinneka Tunggal Ika juga terdapat pada lambang negara Republik Indonesia yaitu Burung Garuda Pancasila. Di kaki Burung Garuda Pancasila mencengkram sebuah pita yang bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika. Kata-kata tersebut dapat pula diartikan : Berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Makna Bhineka Tunggal Ika dalam Persatuan Indonesia sebagaimana dijelaskan dimuka bahwa walaupun bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang memiliki kebudayaan dan adat-istiadat yang beraneka ragam namun keseluruhannya merupakan suatu persatuan. Penjelmaan persatuan bangsa dan wilayah negara Indonesia tersebut disimpulkan dalam PP. No. 66 tahun 1951, 17 Oktober diundangkan tanggal 28 Nopember 1951, dan termuat dalam Lembaran Negara No. II tahun 1951.
Makna Bhineka Tunggal Ika yaitu meskipun bangsa dan negara Indonesia terdiri atas beraneka ragam suku bangsa yang memiliki kebudayaan dan adat-istiadat yang bermacam-macam serta beraneka ragam kepulauan wilayah negara Indonesia namun keseluruhannya itu merupakan suatu persatuan yaitu bangsa dan negara Indonesia. Keanekaragaman tersebut bukanlah merupakan perbedaan yang bertentangan namun justru keanekaragaman itu bersatu dalam satu sintesa yang pada gilirannya justru memperkaya sifat dan makna persatuan bangsa dan negara Indonesia.
Dalam praktek tumbuh dan berkembangnya persatuan suatu bangsa (nasionalisme) terdapat dua aspek kekuasaan yang mempengaruhi yaitu kekuasaan pisik (lahir), atau disebut juga kekuasan material yang berupa kekerasan, paksaan dan kekuasaan idealis (batin) yang berupa nafsu psikis, ide-ide dan kepercayaan-kepercayaan. Proses nasionalisme (persatuan) yang dikuasai oleh kekuasaan pisik akan tumbuh dan berkembang menjadi bangsa yang bersifat materialis.
 Sebaliknya proses nasionalisme (persatuan) yang dalam pertumbuhannya dikuasai oleh kekuasaan idealis maka akan tumbuh dan berkembang menjadi negara yang ideal yang jauh dari realitas bangsa dan negara. Oleh karena itu bagi bangsa Indonesia prinsip-prinsip nasionalisme itu tidak berat sebelah, namun justru merupakan suatu sintesa yang serasi dan harmonis baik hal-hal yang bersifat lahir maupun hal-hal yang bersifat batin. Prinsip tersebut adalah yang paling sesuai dengan hakikat manusia yang bersifat monopluralis yang terkandung dalam Pancasila.
Di dalam perkembangan nasionalisme didunia terdapat berbagai macam teori antara lain Hans Kohn yang menyatakan bahwa : “Nasionalisme terbentuk ke persamaan bahasa, ras, agama, peradaban, wilayah negara dan kewarganegaraan “. Bangsa tumbuh dan berkembang dari analisis-analisis akar-akar yang terbentuk melalui jalannya sejarah. Dalam masalah ini bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam suku bangsa yang memiliki adat-istiadat dan kebudayaan yang beraneka ragam serta wilayah negara Indonesia yang terdiri atas beribu-ribu kepulauan.
Prinsip-prinsip nasionalisme Indonesia (Persatuan Indonesia) tersusun dalam kesatuan majemuk tunggal yaitu :a) Kesatuan sejarah; yaitu bangsa Indonesia tumbuh dan berkembang dalam suatu proses sejarah. b) Kesatuan nasib; yaitu berada dalam satu proses sejarah yang sama dan mengalami nasib yang sama yaitu dalam penderitaan penjajah dan kebahagiaan bersama. c) Kesatuan kebudayaan; yaitu keanekaragaman kebudayaan tumbuh menjadi suatu bentuk kebudayaan nasional. d) Kesatuan asas kerohanian; yaitu adanya ide, cita-cita dan nilai-nilai kerokhanian yang secara keseluruhan tersimpul dalam Pancasila.
Menurut Muhammad Yamin bangsa Indonesia dalam merintis terbentuknya suatu bangsa dalam panggung politik Internasional melalui suatu proses sejarahnya sendiri yang tidak sama dengan bangsa lain. Dalam proses terbentuknya persatuan tersebut bangsa Indonesia menginginkan suatu bangsa yang benar-benar merdeka, mandiri, dan bebas menentukan nasibnya sendiri tidak tergantung pada bangsa lain. Menurutnya terwujudnya Persatuan Kebangsaan Indonesia itu berlangsung melalui tiga fase.
Pertama Zaman Kebangsaan Sriwijaya, kedua Zaman Kebangsaan Majapahit, dan ketiga Zaman Kebangsaan Indonesia Merdeka (yang diplokamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945). Kebangsaan Indonesia pertama dan kedua itu disebutnya sebagai nasionalisme lama, sedangkan fase ketiga disebutnya sebagai nasionalisme Indonesia Modern, yaitu suatu Nationale Staat atau Etat Nationale yaitu suatu negara Kebangsaan Indonesia Modern menurut susunan kekeluargaan yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa serta kemanusiaan. Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, pengertian “Persatuan Indonesia“ adalah sebagai faktor kunci yaitu sebagai sumber semangat, motivasi dan penggerak perjuangan Indonesia.
 Hal itu tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut : “ Dan perjuangan pergerakan Indonesia telah sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa menghantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.
 Kebulatan tekad untuk mewujudkan “Persatuan Indonesia“ kemudian tercermin dalam ikrar “Sumpah Pemuda“ yang dipelopori oleh pemuda perintis kemerdekaan pada tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta yang berbunyi :
1.      Pertama. Kami Putra dan Putri Indonesia Mengaku Bertumpah darah Satu Tanah Air Indonesia.
2.      Kedua. Kami Putra dan Putri Indonesia Mengaku Berbangsa Satu Bangsa Indonesia.
3.      Ketiga. Kami Putra dan Putri Indonesia Menjunjung Bahasa Persatuan Bahasa Indonesia.
Kalau kita lihat, Sumpah Pemuda yang mengatakan Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa Indonesia maka ada tiga aspek Persatuan Indonesia yaitu:
1.  Aspek Satu Nusa : yaitu aspek wilayah, nusa berarti pulau, jadi wilayah yang dilambangkan untuk disatukan adalah wilayah pulau-pulau yang tadinya bernama Hindia Belanda yang saat itu dijajah oleh Belanda. Ini untuk pertama kali secara tegas para pejuang kemerdekaan meng-klaim wilayah yang akan dijadikan wilayah Indonesia merdeka.
2.   Aspek Satu Bangsa : yaitu nama baru dari suku-suku bangsa yang berada di wilayah yang tadinya bernama Hindia Belanda yang tadinya dijajah oleh Belanda memproklamirkan satu nama baru sebagai Bangsa Indonesia. Ini adalah awal mula dari rasa nasionalisme sebagai kesatuan bangsa yang berada di wilayah sabang sampai Merauke.
3.  Aspek Satu Bahasa: yaitu agar wilayah dan bangsa baru yang terdiri dari berbagai suku dan bahasa bisa berkomunikasi dengan baik maka dipakailah sarana bahasa Indonesia yang ditarik dari bahasa Melayu dengan pembaharuan yang bernuansakan pergerakan kearah Indonesia yang Merdeka. Untuk pertama kali para pejuang kemerdekaan memproklamirkan bahasa yang akan dipakai negara Indonesia merdeka yaitu bahasa Indonesia.
Hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 itulah pangkal tumpuan cita-cita menuju Indonesia merdeka. Memang diakui bahwa persatuan berkali-kali mengalami gangguan dan kerenggangan. Indonesia di jajah Belanda selama 350 tahun atau 3,5 Abad, maka untuk itu Indonesia memilih semboyang “Bhinneka Tunggal Ika” yang bertujuan untuk mempersatukan bangsa Indonesia agar dapat mengusir penjajah dari bumi ibu pertiwi ini.
Bhineka Tunggal Ika merupakan semboyan negara Indonesia sebagai dasar untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia, dimana kita haruslah dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari yaitu hidup saling menghargai antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya tanpa memandang suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, warna kulit dan lain-lain.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau dimana setiap daerah memiliki adat istiadat, bahasa, aturan, kebiasaan dan lain-lain yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya tanpa adanya kesadaran sikap untuk menjaga Bhineka Tunggal Ika pastinya akan terjadi berbagai kekacauan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dimana setiap orang akan hanya mementingkan dirinya sendiri atau daerahnya sendiri tanpa perduli kepentngan bersama.
Oleh sebab itu, marilah kita jaga Bhineka Tunggal Ika dengan sebaik-baiknya agar persatuan bangsa dan negara Indonesia tetap terjaga dan kita pun haruslah sadar bahwa menyatukan bangsa ini memerlukan perjuangan yang panjang yang dilakukan oleh para pendahulu kita dalam menyatukan wilayah Republik Indonesia menjadi negara kesatuan.
Perkembangan  Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), di  Indonesia menjadi salah satu bukti dari implementasi Bhineka Tunggal Ika. Dengan hadirnya Pendidikaan Kewarganegaraan pada dasarnya diharapkan dapat menumbuhkan rasa kebangsaan/nasionalisme yang kuat. Sejarah panjang Bangsa Indonesia telah diwarnai dengan berbagai perubahan dan gejolak politik yang pada dasarnya menuntut satu bentuk pendidikan bagi warganegara atau PKn agar setiap individu dan pribadi dalam masyarakat Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari bangsa yang majemuk atau masyarakat yang pluralistik yang hanya mungkin terbentuk karena adanya rasa persatuan sebagai bangsa yang berdaulat yang dinamakan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

E.     Urgensi Pendidikan Multikultural di Indonesia
Adapun urgensi pendidikan multikulturalisme di Indonesia diantaranya adalah: pertama, pendidikan multikultralisme berfungsi sebagai sarana alternatif pemecahan konflik; kedua, dengan pelajaran pendidikan berbasis multikultural, siswa diharapkan tidak tercerabut dari akar budayanya; ketiga, pendidikan multikulturalisme relevan di alam demokrasi seperti saat ini. untuk mewujudkan multikulturalisme dalam dunia pendidikan, maka pendidikan multikultural juga perlu dimasukan dalam kurikulum nasional, yang pada akhirnya dapat menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang multikultural, serta upaya-upaya lain yang dapat dilakukan guna mewujudkannya.
Di bawah ini dapat di uraikan sebagai berikut:
1.      Sebagai Sarana Alternatif Pemecahan Konflik
Penyelengaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya yang kerap terjadi di masyarakat Indonesia yang secara realitas plural (solusi pemecahan knflik). Spektrum kultur masyarakat Indonesia yang beragam menjadi tantangan bagi dunia pendidikan guna mengolah perbedaan tersebut menjadi aset, bukan sumber perpecahan.
Saat ini pendidikan multikultral mempunya dua tangunggjawab besar, yaitu: menyiapkan bangsa Indonesia untuk siap menghadapi arus budaya luar diera globalisasi; dan “menyatukan” bangsa bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya. Memang, pendidikan kebasaan dan ideologi telah banyak diberikan di perguruan tinggi (PT), namun pendidikan multikultural belum diberikan dengan proposi yang benar. Maka sekolah dan perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan dapat mengembangkan pendidikan multikultural dengan model masing-masing sesuai  asas otonomi pendidikan atau sekolah.
Menurut Choerul Mahfud, pendidikan multikultural tersebut sebaiknya lebih ditekankan pada mata pelajaran, kebansaan dan moral. Pada dasarnya model-model pembelajaran sebelumnya yang berkaitan dengan kebangsaan memang sudah ada. Namun hal itu masih kurang memadai sebagai sarana pendidikan guna menghargai perbedaan masing-masing suku, budaya, etnis. Hal itu terlihat dengan munculnya konflik yang kerap terjadi pada realitas kehidupan berbagsa dan bernegara saat ini.
Menurut Suyanto, pakar pendidikan, masyarakat justru mengetahui lebih dalam mengenai “stereotip” suatu suku bangsa dibandingkan mengenal apa yang sebenarnya dimiliki suatu suku tersebut. Maka pendidikan multikultural dapat dikatakan berhasil jika terbentuk pada diri siswa dan mahasiswa sikap hidup saling toleran, tidak bermusuhan dan tidak berkonflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya, suku, bahasa, adat istiadat atau lainnya.
Menurut Stephen Hill, Direktur perwakilan  Badan PBB Bidang Pendidikan dan Budaya, UNESCO untuk kawasan Indonesia, Malaisya, Filiphina, dan Timor Leste, pendidikan multikultral dapat dikatakan berhasil bila prosesnya melibatan seluruh element masyarakat. Perubahan yang diharapkan dalam konteks pendidikan multikultural ini tidak terletak pada justifikasi angka atau statestik dan berorientasi statestik ansich sebagaimana lazimnya penilaian keberhasilan pelaksanaan pendidikan di negeri ini.
Namun, lebih dari itu, pada terciptanya kondisi yang nyaman, damai, toleran, dalam kehidupan masyarakat, dan tidak selalu muncul konflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya dan SARA. Bahkan ada yang mengatakan, bahwa hasil dari pendidikan multikultural tidak dapat ditentukan dengan standar waktu tertentu.
2.      Supaya Siswa Tidak Tercerabut dari Akar Budaya
Selain sebagai alternatif pemecahan konflik, pendidikan multikultural juga signifikan dalam binaan siswa agar tidak tercerabut dari akar budaya yang ia miliki sebelumnya, tatkala ia berhadapan dengan realitas sosial-budaya di era globalisasi. Dalam era globalisasi saat ini, pertemuan antar budaya menjadi “ancaman” serius bagi anak didik. Untuk mensikapi realitas global tersebut, siswa hendaknya diberi penyadaran akan pengetahuan yang beragam, sehingga mereka memiliki kompetensi yang luas akan pengetahuan global, termaksud aspek kebudayaan.
Menurut Fuad Hasan, saat ini diperlukan langkah antisipatif terhadap tantangan globalisasi, utamanya dari aspek kebudayaan. Sebab, anak didik di Indonesia masa kini, dalam banyak hal, jauh berbeda dengan anak-anak seusianya dimasa lalu. Berbagai budaya yang sudah ada di negeri ini, berbaur dengan banyak budaya asing yang kian mudah diperoleh melalui ragam media, seperti televisi dan internet.
Dari tangapan Fuad diatas, bisa kita analisis bahwa tantangan dalam dunia pendidikan kita saat ini sangat berat dan kompleks. Jika tidak ditanggapi secara serius dan disertai solusi kongkret-utamanya pada pendidikan kita yang bertangnggjawab penuh atas kualitas sumberdaya manusia (SDM) di negeri ini-maka anak-anak generasi bangsa ini bisa kehilangan arah, tercerabut dar akar budaya sendiri.
Menurut H. A. R. Tilaar, pendidikan multiultural telah menjadi satu tuntutan yang tidak dapat ditawar-tawar dalam membangun Indonesia baru (pendidikan multikultural memerlukan kajian yang mendalam mengenai konsep praksis pelaksanaannya). Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 telah memberikan peluang untuk menjabarkan lebih lanjut terhadap kosep pendidikan multikultural, utamanya daam pasal 4 ayat 1 yang mengatur tentang prinsip penyelengaraan pendidikan yang mempertimbangkan nilai-nilai kultural masyarakat yang sangat beragam.
3.      Sebagai Landasan Pengembangan Kurikulum Nasional
Pengembangan kurikulum masa depan yang berdasarkan pendekatan multikultural dapat dilakukan berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut:
a)    Mengubah filosofis kurikulum dari yang berlaku seragam seperti saat ini kepada filosofis yang lebih sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan.filosofis kurikulum yang progresif  seperti humanisme, progresivisme, dan rekonstruksi sosial dapat dijadikan landasan pengembangan kurikulum.
b)   Teori kurikulum tentang konten (currikulum content), haruslah berubah dari teori yang mengartikan konten sebagai aspek substantif yang berisi fakta, teori, generalisasi kepengertian yang mencakup pula nilai moral, prosedur, proses dan keterampilan (skills) yang harus dimiliki generasi muda.
c)    Teori belajar yang digunakan dalam kurikulm masa depan yang memerhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik tidak boleh lagi hanya mendasarkan diri pada teori psikologi belajar yang menempatkan siswa sebagai, makhluk sosial, budaya, politk, yang hidup sebagai anggota aktif masyarakat, bangsa, dan dunia yang harus diseragamkan oleh institusi pendidikan.
d)   Proses belajar yang dikembangkan untuk siswa haruslah pula berdasarkan proses isomorphisme yang tinggi dengan kenyataan sosial. Artinya proses belajar yang mengandalakan siswa belajar secara individualistik dan bersaing secara kompetitif individualistik harus ditinggalkan dan diganti dengan cara belajar berkelompok dan bersaing secara kelompok dan bersaing secara kelompok dalam suatu situsasi positif.
e)    Evaluasi yang harus digunakan haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan keperibadian peserta didik, sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. Alat evaluasi haruslah beragam sesuai dengan sifat, tujuan, dan informasi yang hendak dikumpulkan.




















BAB III
PENUTUP


A.      Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan, bahwa defenisi pendidikan multikulturalisme sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografi dan kultural yang terjadi dilingkungan masyrakat tertentu, atau bahkan di dunia secara keseluruhan.
Pendidikan  multikultural seyogiyanya memfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah prespektif monokultural yang esensial,  penuh prasangka dan diskriminasi, ke prespektif  multikulturalis yang menghargai keragaman, perbedaan, toleran, dan sikap terbuka.
Arti Bhinneka Tunggal Ika adalah berbeda-beda tetapi satu jua yang berasal dari buku atau kitab sutasoma karangan Mpu Tantular/Empu Tantular. Secara mendalam Bhineka Tunggal Ika memiliki makna walaupun di Indonesia terdapat banyak suku, agama, ras, kesenian, adat, bahasa, dan lain sebagainya namun tetap satu kesatuan yang sebangsa dan setanah air. Di persatukan dengan bendera, lagu kebangsaan, mata uang, bahasa dan lain-lain yang sama.
Adapun urgensi pendidikan multikultural  di Indonesia, diantaranya:
1.         Pendidikan multikultural sebagai sarana alternatif pemecahan konflik sosial.
2.         Pendidikan multikultural sebagai pembinaan agar siswa tidak tercerabut dari akar kebudayaannya.
3.         Sebagai landasan pengembangan kurikulum pendidikan nasional

B.       Saran
Bagi para praktisi pendidikan terutama guru dan dosen, hendaknya menanamkan nilai-nilai mulia dalam proses belajar mengajar dengan cara memberikan pemahaman yang mulia menyangkut realitas multikultural dan mempraktikan dalam kehidupan nyata, sehingga peserta didik memiliki kompetensi nilai-nilai multikulturalisme.
Diharapkan juga kepada pemerintah mulai dari pusat sampai daerah, agar selalu melihat kemajemukan dan pluralisme sebagai kekuatan munculnya pendidikan multikultural. Dan semua elemen civil society, agar bekerja sama dalam mewujudkan masyarakat multikulturalis (Bhineka Tunggal Ika). Sebagaimana diperjuangkan oleh founding fathers negara kita.























DAFTAR PUSTAKA


Ali, Mohammad dkk.2007. Ilmu dan Aplikasi pendidikan. Bandung: Pedagogiana Press.
Choirul Mafud. 2011. Pendidikan Multikultural. Pustaka Pelajar.
http://Wordpress.com/ Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia.html/. 2014.
http://Wordpress.com/ Pendidikan Multikultural.html/2014.


0 komentar:

Posting Komentar