PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA
Oleh: Ronaldus S. Rilman, S.Pd.
A.
Latar
Belakang
Dunia saat ini terasa kecil, hal ini
tentu dipengaruhi oleh perkembangan globaisasi yang membawa kita pada tatanan
dunia baru. Globalisasi melululantahkan negara-negara berkembang atau biasa
disebut dengan negara peri-peri (negara
pingiran). Dan salah satunya adalah negara Indonesia, globalisasi dalam
pengertian yang lain merupakan problem sejarah. Dengan demikian negara atau
bangsa manapun tidak akan bisa lari atau bersembunyi dari kejaran globalisasi.
Globalisasi dimaknai sebagai, kerja sama
antara dua negara yang saling menguntungkan (ekonomi/bilateral).
Dua negara yang secara ideologi, sosial, dan budaya yang tentunya berbeda. Oleh
karenanya, globalisasi diharapkan mampu membawa dunia pada tatanan yang lebih
bermartabat. Namun dewasa ini, globalisasi tidak lebih dari mesin pengerak para
penganut paham kapitalis.
Harapan kita sebagai bangsa yang besar,
yakni Bangsa Indonesia ialah lahirnya
“Pendidikan Multikultural” sebagai perekat antara manusia Indonesia mulai
dari Sabang sampai Merauke. Pendidikan Multikutural dianggap sangat penting
bagi negara-negara yang secara keberadaannya majemuk dan menjadi satu tantangan
tersendiri dalam mengelola pluralisme atas etnik atau kelompok yang ada.
Mengingat bangsa Indonesia merupakan
bangsa yang besar maka sudah menjadi tangunggjawab bagi generasi saat ini dalam
mempertahankan integritas bangsa kita. Di masa yang akan datang dunia mungkin
berwajah ganda dan manusia tidak lagi dipandang sebagai senyawa dari manusia
lainnya, melainkan seekor binatang (Homo-homenilupus).
Di dalam bukunya Samuel P. Huntington (Benturan Antara Peradaban), meramalkan
bahwa akan terjadi benturan antara peradaban. Benturan itu disinyalir akibat
beberapa faktor: politik, sosial, budaya, ekonomi, ras, bahkan agama.
Melihat fenomena tersebut, pendidikan di
Indonesia haruslah peka menghadapi arus perputaran globalisasi. Pengalaman
pahit semasa Orde Baru tidak perlu
berulang lagi. Pola pemaksaan kehendak oleh pemerintah untuk membentuk satu
kehidupan yang seragam melalui aturan-aturan dalam segala aspek kehidupan perlu
ditinjau ulang dan dipertanyakan.
Gelombang demokrasi menuntut pengakuan
perbedaan dalam tubuh bangsa Indonesia yang majemuk. Oleh sebab itu pendidikan
multikultural adalah jawaban atas beberapa problematika kemajuan itu. Perlu
disadari bahwa proses pendidikan adalah proses pembudidayaan dan cita-cita
persatuan bangsa merupakan unsur budaya nasional.
Pendidikan multikultural dapat
dirumuskan sebagai wujud kesadaran tentang keaneka ragaman kultur, hak-hak
asasi manusia serta pengurangan atau penghapusan bebagai jenis prasangka atau prejudise untuk membangun suatu
kehidupan masyarakat yang adil dan maju. Pendidikan multikultural juga dapat
diartikan sebagai strategi untuk mengembangkan kesadaran atas kebanggaan
seseorang terhadap bangsanya (the pride
in one’s home nation).
Di Indonesia pendidikan multikultural
relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi
masyarakat Indonesia yang heterogen, plural, terlebih pada masa otonomi dan
desentralisasi yang baru diberlakukan sejak 1999 lalu hingga saat ini.
Sebaliknya, pada level nasional,
berakhir sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan “monokulturalisme” yang nyaris seragam
telah memunculkan reaksi balik, yang bukannya tidak mengandung sejumlah implikasi
negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Berbarengan
dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, juga
terjadi peningkatan gejala “provinsialisme” yang hampir tumpang
tindih dengan “etnisitas”.
Kecenderungan ini, jika tidak
dikendaikan akan dapat menimbulkan bukan hanya disintegritas sosial-kultural
yang amat parah, bahkan juga disintegritas politik. Oleh karena itu pendidikan
multikultural dapat menjadi mediator dalam upaya membingkai segala perbedaan
dengan motto Bhineka Tunggal Ika.
B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan ini, penulis merumuskan
beberapa masalah yang akan dikaji lebih jauh. Adapun rumusan masalah tersebut
adalah:
1. Apa
pengertian pendidikan multikultural ?
2. Apa
itu paradigma pendidikan multikultural ?
3. Bagaimana
wacana pendidikan multikultural di Indonesia dan ?
4. Apa
itu Bhineka Tunggal Ika ?
5. Bagaimana
urgensi pendidikan multikultural di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar
belakang dan rumusan masalah tersebut di atas, adapun tujuan dari penulisan
makalah ini adalah:
1.
Untuk mengetahui pengertian pendidikan
multikultural?
2.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud
dengan paradigma pendidikan multikultural?
3.
Untuk mengetahui apa yang dengan wacana
pendidikan multikultural di Indonesia?
4.
Untuk mengetahui apa itu Bhineka Tunggal
Ika ?
5.
Untuk mengetahui urgensi pendidikan
multikultural di Indonesia?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pendidikan Multikultural
Sebagai sebuah wacana baru, pengertian
pendidikan multikultural sesunggunya hingga saat in begitu jelas dan masi
banyak pakar pendidikan yang memperdebatkannya. Namun demikian, bukan berarti
bahwa defenisi pendidikan multikultural tidak ada atu tidak jelas. Sebetulnya, sama
dengan defenisi pendidikan yang penuh penafsiran antara satu pakar dengan pakar
lainnya di dalam menguraikan makna pendidikan itu sendiri.hal ini juga terjadi
pada penafsiran tentang arti pendidikan multikultural.
Meminjam pendapat Andersen dan Cusher (1994:320),
bahwa pendidikan multikultural dapat di artikan sebagai pendidikan keragaman
kebudayaan. Kemudian,James Banks (1993:3) mendefinisikan pendidikan
multikultural sebagai pendidikan untuk people
of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan
sebagai keniscayaan (anugrah tuhan/sunattullah).
Sejalan dengan pemikiran di atas,
Muhemin el Mahady berpendapat, bahwa sederhana pendidikan multikultural dapat
di definisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi
perubahan demografis dan kultur lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan
dunia secara keseluruhan (global). Hilda
Hernandez mengartikan pendidikan multikultural sebagai prespektif yang mengakui
realitas politik, sosial, ekonomi, yang di alami msing masing individu dalam
pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefeleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian pengecualian dalam proses pendidikan.
Pemikiran tersebut sejalan dengan
pendapat Paulo Freire (pakar pendidikan pembebasan), bahwa pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya.
Pendidikan, menurutnya harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik
dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestasi
sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang di alaminya.
Dalam dimensi lain, pendidikan
multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktifitas pendidikan untuk
memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian orang-orang non
Eropa (Hilliard, 1991-1992), sedangkan secara luas, pendidikan multikultural
mencakup seluru siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya, seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial,
dan agama.
James banks (1994) menjelaskan, bahwa
pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu
dengan yang lain, yaitu: pertama, content
integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk
mengilustrasikan konsep dasar, generalisasi dan teori dalam mata
pelajaran/disiplin ilmu. Kedua, the knowledge
constrction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya
kedalam sebuah mata pelajaran (disiplin). Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyusuaikan metode pengajaran dengan
cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang
beragam baik dalam segi ras, budaya
(kultur) ataupun sosial (social).
Keempat, prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakterristik ras
siswa dan menentukan pengajaran mereka. Kemudian, melihat kelompok untuk
berpartisipasi dalam kegiyatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan
siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang
toleran dan inklusif. Dalam aktivitas pendidikan manapun, peserta
didik merupakan sasaran (objek) dan
sekaligus sebagai subyek pendidikan.
Oleh sebab itu, dalam memahami hakikat
peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum
peserta didik. Setidaknya, secara umum peserta didik memiliki lima ciri yaitu:
1.
Peserta didik dalam keadaan sedang
berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan,
kemauan dan sebagainya.
2.
Mempunyai keinginan untuk berkembang ke
arah dewasa.
3.
Peserta didik mempunyai latar belakang
yang berbeda-beda.
4.
Peserta didik melakukan penjelajahan
terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara
individual.
Menurut Prof. HAR Tilaar, pendidikan
multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang “interkulturalisme” sesuai Perang Dunia
(PD) kedua. Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengunggkapkan
bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan
semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream.
Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan
pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan
toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap
budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya penyebabkan
orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi kedalam masyarakat maintream. Pendidikan multikultural
sebenarnya merupakan sikap “peduli”
dan mau mengerti (difference), atau
politics of recognition (politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok
minoritas).
Dalam konteks deskriptif, kurikulum
pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi,
tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi,
penyelesaian konflik dan mediasai, HAM; demokrasi dan pluralitas,
multikulturalisme, kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.
Dalam konteks teoritis, belajar dari
model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan
oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau
multikulturalisme; kedua, pendidikan
mengenai perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan; ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan; keempat, pendidikan dwi-budaya; kelima, pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.
Sebetulnya, konsep pendidikan
multikultural, utamanya di negara-negara yang menganut konsep demokratis
seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukan hal yang baru lagi. Mereka telah
melaksanakannya khususnya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara
orang kulit putih dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara
integritas nasional.
Amerika Serikat ketika ingin membentuk
masyarakat baru pasca kemerdekaannya pada 4 Juli 1776 baru disadari bahwa,
masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal negara yang berbeda (Amerika mencari terobosan baru yaitu dengan
strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan
nilai-nilai baru yang dicita-citakan).
Di Indonesia sendiri gagasan pendidikan
multikultural lahir dilatarbelakangi oleh globalisasi. Menurut HAR Tilaar,
bangsa yang tidak punya strategi untuk mengelola kebudayaan yang mendapat
tantangan yang demikian dahsyatnya, dikhawatirkan akan mudah terbawa arus
hingga akhirnya kehilangan jati diri lokal dan nasionalnya.
Hal senada juga dikatakan Rektor UNJ,
Prof. Dr. Subjipto, dan Dr. Cutkamaril Wardani. Ia berpendapat, bahwa globalisasi sebagai
tantangan global perlu diimbangi dengan penguatan budaya lokal (local culture). Namun demikian,
fanatisme berlebihan pada budaya lokal beresiko menimbulkan disintegrasi
bangsa. Maka, fanatisme dan primordialisme selayaknya dikikis habis. Di sinilah
urgensi pendidikan multikultural untuk dihadirkan dalam dunia pendidikan kita
saat ini.
B. Paradigma Pendidikan Multikultural
Dalam buku paradigma pendidikan
universal (yogyakarta; IRCiSoD, 2004),
Ali Maksum menggambarkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis. Kemajemukan bangsa Indonesia dapat
dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian,
makanan, dan budayanya. Sebentara, dalam prespektif vertikal, kemajemukan
bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi,
pemukiman, pekerjaan, dan tingkat sosial budaya.
Seperti diketahui, Indonesia merupakan
negara kepulauan dengan jumlah pulau terbesar di Dunia, yang mencapai 17. 667
pulau besar dan kecil (dengan demikian kemajemukan bangsa Indonesia merupakan
anugrah Tuhan). Karena itulah, Usman Pelly (1988)
menyatakan bahwa, meskipun setiap warga negara Indonesia (WNI) berbicara dalam satu bahasa Nasional, namun kenyataannya
terdapat 350 kelompok etnis, adat istiadat, dan cara-cara sesuai dengan kondisi
lingkungan tertentu.
Pada satu sisi, kemajemukan masyarakat side effect (dampak) secara positif. Namun pada sisi yang lain, ia
juga menimbulkan dampak negatif, karena faktor kemajemukan itulah justru
terkadang sering menimbulkan konflik antara kelompok masyarakat. Pakar
pendidikan, Syafri Sairin (1992),
memetakan akar-akar konflik dalam masyarakat majemuk, yakni: (1) perebutan
Sumberdaya, alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi (acces to economic); dan (3) benturan kepentingan politik,
ideologi, dan agama (conflict of
political, ideologi, and religious interest).
Dalam menghadapi pluralisme budaya
tersebut, diperlukan paradigma baru yang lebih toleran, yaitu paradigma
pendidikan multikultural. Paradigma pendidikan multikulturalisme tersebut
penting, sebab akan mengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan
toleran inklusif terhadap realitas masyarakat yang beragam, baik dalam hal
budaya, suku, ras, etnis maupun agama.
Paradigma ini dimaksudkan bahwa, kita
hendaknya apresiatif terhadap budaya orang lain perbedaan dan keberagamaan
merupakan kekayaan dan khazanah bangsa kita. Dengan pandangan tersebut,
diharapkan sikap eksklusif yang selama ini bersemayam dalam otak kita dan sikap
membenarkan pandangan sendiri (truth
claim) dengan menyalahkan pandangan dan pilihan orang lain dapat
dihilangkan atau diminimalisir.
Banyak bukti di negeri ini, tentang
kerusuhan dan konflik yang berlatarbelakang SARA (suku, adat, ras, dan agama).
Fakta tersebut sebetulnya menunjukan kegagalan pendidikan dalam menciptakan
kesadaran pluralisme dan multikulturalisme. Pada dasarnya, manusia diciptakan
Tuhan dengan berbeda jenis kelamin, bangsa, suku, warna kulit, budaya dan
sebagainya, dan agar diketahui bahwa orang yang paling mulia disisi Tuhan
adalah yang paling baik perbuatannya (betaqwa).
Pendidikan
multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri:
1.
Tujuannya membentuk “manusia budaya” dan
menciptakan “masyarakat berbudaya (berperadaban)”.
2.
Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur
kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (kultural).
3.
Metodenya demokratis, yang menghargai
aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalisme).
4.
Evaluasinya ditentukan pada penilaian
terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan
tindakan terhadap budaya lainnya.
Menurut M. Khoirul Muqtafa (2004), paradigma multikultural yang
marak didengungkan sebagai langkah alternatif dalam rangka mengelola masyarakat
multikultural seperti di Indonesia tampaknya masih menjadi wacana belaka.
Sejumlah kebijakan politik yang sangat sentralistik pada masa Orde Baru yang
memaksakan ideologi “monokulturalisme”
yang nyaris seragam, seperti, developmentalisme dan univormitas, merupakan
buktinyata.
Berbarengan dengan proses otonomisasi
dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan sejak 1999, terjadi peningkatan
gejala “provinsialisme” yang hampir
tumpang tindih dengan “etnisitas”.
Politik identitas kelompok, seiring dengan mengejalanya kumunalisme, makin
menguat. Konflik antara suku maupun agama muncul bak cendawan dimusim hujan.
Kesatuan dan persatuan yang diidam-idamkan selama ini ternyata semu belaka.
Yang mengemuka kemudian adalah kepentingan antara suku, daerah, ras, ataupun
agama dengan mengenyampingkan realitas atau kepentingan yang lain.
Pengelolaan masyarakat multikultural
Indonesia tidak bisa dilakukan secara taken
for grantet atau trial and erorr.
Sebaliknya, harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated, dan
berkesinambungan (continue). Di
sinlah fungsi strategis pendidikan multikultural sebagai sebuah proses dimana
seseorang mengembangkan kompetensi dalam beberapa sistem standar untuk
mempresepsi, mengevaluasi, meyakini, dan melakukan tindakan.
Dalam melasanakan pendidikan
multikultural ini meski dikembangkan prinsip solidaritas. Solidaritas menuntut
agar kita melupakan upaya-upaya penguatan identitas; melainkan menuntut kita
agar berjuang demi dan bersama yang lain. Dengan berlaku demikian, kehidupan
multikultural yang dilandasi kesadaran akan eksitensi diri tanpa merendahkan
yang lain diharapakan segera terwujud.
C. Wacana Pendidikan Multikultural Di
Indonesia
Hingga saat ini, pendidikan
multikultural di Indonesia belum tuntas dikaji oleh berbagai kalangan,
termaksud para pakar dan pemerhati pendidikan sekalipun. Perlu diketahui, bahwa di Indonesia
pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang
dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, plural.
Terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru diberlakukan sejak 1999
hingga saat ini. Yang apabila dilaksanakan dengan tidak berhati-hati, justru
akan muncul menjerumuskan kita pada perpecahan nasional (disintegrasi bangsa dan separatisme).
Pelaksanan otonomi daerah ini merupakan
perubahan pemerintahan yang sangat drastis. Akibat pelaksanaan otnomi daerah,
posisi pemerintah jauh berbeda dan lebih kuat daripada masa Orde Baru. Dampak
otonomi daerah dalam konteks nyata bertujuan untuk menyajikan kompilasi studi
kasus tentang konflik dan perubahan disekitar devolusi kekuasaan pada era
otonomi daerah.
Selama ini, kebudayaan lokal dan
identitas daerah cenderung dianggap sebagai contoh keanekaragaman budaya dalam
kesatuan Indonesia sebagaimana dimaksud Taylor (1994) dalam istilah “kebudayaan
nusantara”. Pada masa Orde Baru, kebudayaan lokal dan adat istiadat
dipamerkan sebagai objek wisata di museum provinsi (Acciaioli 1985, 2001; Pemberton 1994; Robinson 1997). Kebudayaan
dan identitas lokal dianggap sebagai “tontonan” yang hanya dilihat sebagai
lembaga kesatuan Indonesia.
Tetapi, konflik etnis dan gerakan
separatis yang sedang terjadi di Indonesia menunjukkan perlunya pendekatan
multikultural dan pengertian bahwa identitas daerah dan prespektif lokal harus
menjadi pola dasar bagi kajian analisis politik dan budaya Indonesia. Kemudian,
dalam tulisan Dedi Adhuri membahas dampak UU No.5/1979 tentang pemerintah desa
melalui kasus pemilihan pasirah di Sumatera Selatan. Telah lama terdapat asumsi
bahwa Undang-undang yang diberlakukan pada masa Orde Baru mengakibatkan
kelemahan dan kehancuran hukum adat yang berlaku dikomuniti setempat.
Tetapi, menurut analisis Adhuri,
kehancuran hukum adat mendahului dikeluarkannya Undang-Undang No.5/1979.
Ketidakpuasan di daerah diduga mengakibatkan timbulnya gerakan “separatisasi”
dibeberapa wilayah di Indonesia. Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional,
berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan “monokulturalisme” yang nyaris seragam,
munculnya reaksi balik, yang mengandung implikasi negatif bagi rekonstruksi
kebudayaan Indonesia yang multikultural.
Model pendidikan di Indonesia, juga di
negara-negara lain, menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan
sarana yang dipakai untuk mencapainya. Sejumlah kritikus melihat bahwa refisi
kurikulum yang dilakukan dalam program pendidikan multikutural di Inggris dan
beberapa tempat di Australia dan Kanada, terbatas pada keragaman budaya yang
ada; jadi, terbatas pada dimensi kognetif.
Penambahan informasi tentang keragaman
budaya merupakan model pendidikan multikultural yang mencakup revisi atau
materi pembelajaran, termaksud revisi buku-buku teks. Di jepang, aktivis
kemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah, terutama
yang menyangkut perang jepang pada Perang Dunia II di Asia. Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka
mata sebagian masyarakat akan pentingnya prespektif baru tentang perang, agar
tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali.
Sementara, di Indonesia masih diperlukan
usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi
dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latar belakang,
suku agama, budaya, dan etnis. Di Indonesia juga memerlukan materi pembelajaran
yang bisa mengatasi “dendam sejarah”
diberbagai wilayah. Model lainnya, pendidikan multikultural tidak sekedar merevisi
materi pembelajaran, tetapi juga melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran
itu sendiri.
Affirmative Action dalam seleksi siswa
sampai rekruitmen tenaga pengajar di Amerika adalah salah satu strategik untuk
membuat perbaikan ketimpangan struktur terhadap kelompok minoritas. Contoh yang
lain adalah model “sekolah pembaharuan” Iskandar Muda di Medan yang
memfasilitasi intraksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun
program anak asuh lintas kelompok.
Di Amerika Serikat, bersamaan dengan
masuknya wacana tentang multikulturalisme, dilakukan berbagai macam lokakarya
di sekolah-sekolah maupun masyarakat untuk meningkatkan kepekaan sosial (sense of crisis), toleransi dan
mengurangi prasangka antara kelompok. Untuk mewujudkan model-model tersebut,
pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada,
agar seperti di ajukan Gorski, pendidikan multikultural mencakup: (1) Transormasi
diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3)
transformasi masyarakat.
Selain itu, wacana pendidikan
multikultural dimungkinkan akan terus berkembang seperti bola salju (snow ball) yang menggelinding semakin
membesar dan ramai diperbincangkan. Dan yang lebih penting dan kita harapkan
adalah wacana pendidikan multikultural akan dapat diberlakukan dalam dunia
pendidikan di negeri yang multikultural ini. Apakah nantinya terwujud dalam kurikulum,
materi, dan metode, ataukah dalam wujud yang lain.
D. Pentingnya Bhineka Tunggal Ika
Arti
Bhinneka Tunggal Ika adalah berbeda-beda tetapi satu jua yang berasal dari buku
atau kitab sutasoma karangan Mpu Tantular/Empu Tantular. Secara mendalam Bhineka
Tunggal Ika memiliki makna walaupun di Indonesia terdapat banyak suku, agama,
ras, kesenian, adat, bahasa, dan lain sebagainya namun tetap satu kesatuan yang
sebangsa dan setanah air. Di persatukan dengan bendera, lagu kebangsaan, mata
uang, bahasa dan lain-lain yang sama.
Kata-kata
Bhinneka Tunggal Ika juga terdapat pada lambang negara Republik Indonesia yaitu
Burung Garuda Pancasila. Di kaki Burung Garuda Pancasila mencengkram sebuah
pita yang bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika. Kata-kata tersebut dapat pula
diartikan : Berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Makna
Bhineka Tunggal Ika dalam Persatuan Indonesia sebagaimana dijelaskan dimuka
bahwa walaupun bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang
memiliki kebudayaan dan adat-istiadat yang beraneka ragam namun keseluruhannya
merupakan suatu persatuan. Penjelmaan persatuan bangsa dan wilayah negara
Indonesia tersebut disimpulkan dalam PP. No. 66 tahun 1951, 17 Oktober
diundangkan tanggal 28 Nopember 1951, dan termuat dalam Lembaran Negara No. II
tahun 1951.
Makna
Bhineka Tunggal Ika yaitu meskipun bangsa dan negara Indonesia terdiri atas
beraneka ragam suku bangsa yang memiliki kebudayaan dan adat-istiadat yang
bermacam-macam serta beraneka ragam kepulauan wilayah negara Indonesia namun
keseluruhannya itu merupakan suatu persatuan yaitu bangsa dan negara Indonesia.
Keanekaragaman tersebut bukanlah merupakan perbedaan yang bertentangan namun
justru keanekaragaman itu bersatu dalam satu sintesa yang pada gilirannya
justru memperkaya sifat dan makna persatuan bangsa dan negara Indonesia.
Dalam
praktek tumbuh dan berkembangnya persatuan suatu bangsa (nasionalisme) terdapat dua aspek kekuasaan yang mempengaruhi yaitu
kekuasaan pisik (lahir), atau disebut
juga kekuasan material yang berupa kekerasan, paksaan dan kekuasaan idealis (batin) yang berupa nafsu psikis,
ide-ide dan kepercayaan-kepercayaan. Proses nasionalisme (persatuan) yang dikuasai oleh kekuasaan pisik akan tumbuh dan
berkembang menjadi bangsa yang bersifat materialis.
Sebaliknya proses nasionalisme (persatuan) yang dalam pertumbuhannya
dikuasai oleh kekuasaan idealis maka akan tumbuh dan berkembang menjadi negara
yang ideal yang jauh dari realitas bangsa dan negara. Oleh karena itu bagi
bangsa Indonesia prinsip-prinsip nasionalisme itu tidak berat sebelah, namun
justru merupakan suatu sintesa yang serasi dan harmonis baik hal-hal yang
bersifat lahir maupun hal-hal yang bersifat batin. Prinsip tersebut adalah yang
paling sesuai dengan hakikat manusia yang bersifat monopluralis yang terkandung
dalam Pancasila.
Di dalam
perkembangan nasionalisme didunia terdapat berbagai macam teori antara lain Hans
Kohn yang menyatakan bahwa : “Nasionalisme
terbentuk ke persamaan bahasa, ras, agama, peradaban, wilayah negara dan
kewarganegaraan “. Bangsa tumbuh dan berkembang dari analisis-analisis
akar-akar yang terbentuk melalui jalannya sejarah. Dalam masalah ini bangsa
Indonesia terdiri atas berbagai macam suku bangsa yang memiliki adat-istiadat
dan kebudayaan yang beraneka ragam serta wilayah negara Indonesia yang terdiri
atas beribu-ribu kepulauan.
Prinsip-prinsip
nasionalisme Indonesia (Persatuan
Indonesia) tersusun dalam kesatuan majemuk tunggal yaitu :a) Kesatuan
sejarah; yaitu bangsa Indonesia tumbuh dan berkembang dalam suatu proses
sejarah. b) Kesatuan nasib; yaitu berada dalam satu proses sejarah yang sama
dan mengalami nasib yang sama yaitu dalam penderitaan penjajah dan kebahagiaan
bersama. c) Kesatuan kebudayaan; yaitu keanekaragaman kebudayaan tumbuh menjadi
suatu bentuk kebudayaan nasional. d) Kesatuan asas kerohanian; yaitu adanya
ide, cita-cita dan nilai-nilai kerokhanian yang secara keseluruhan tersimpul
dalam Pancasila.
Menurut
Muhammad Yamin bangsa Indonesia dalam merintis terbentuknya suatu bangsa dalam
panggung politik Internasional melalui suatu proses sejarahnya sendiri yang
tidak sama dengan bangsa lain. Dalam proses terbentuknya persatuan tersebut
bangsa Indonesia menginginkan suatu bangsa yang benar-benar merdeka, mandiri,
dan bebas menentukan nasibnya sendiri tidak tergantung pada bangsa lain.
Menurutnya terwujudnya Persatuan Kebangsaan Indonesia itu berlangsung melalui
tiga fase.
Pertama
Zaman Kebangsaan Sriwijaya, kedua Zaman Kebangsaan Majapahit, dan ketiga Zaman
Kebangsaan Indonesia Merdeka (yang
diplokamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945). Kebangsaan Indonesia pertama
dan kedua itu disebutnya sebagai nasionalisme lama, sedangkan fase ketiga
disebutnya sebagai nasionalisme Indonesia Modern, yaitu suatu Nationale Staat
atau Etat Nationale yaitu suatu negara Kebangsaan Indonesia Modern menurut
susunan kekeluargaan yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa serta
kemanusiaan. Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, pengertian “Persatuan Indonesia“ adalah sebagai
faktor kunci yaitu sebagai sumber semangat, motivasi dan penggerak perjuangan
Indonesia.
Hal itu tercantum dalam Pembukaan UUD 1945
yang berbunyi sebagai berikut : “ Dan
perjuangan pergerakan Indonesia telah sampailah pada saat yang berbahagia
dengan selamat sentausa menghantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang
kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.
Kebulatan tekad untuk mewujudkan “Persatuan Indonesia“ kemudian tercermin
dalam ikrar “Sumpah Pemuda“ yang
dipelopori oleh pemuda perintis kemerdekaan pada tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta
yang berbunyi :
1.
Pertama. Kami Putra dan Putri Indonesia Mengaku
Bertumpah darah Satu Tanah Air Indonesia.
2.
Kedua. Kami Putra dan Putri Indonesia Mengaku
Berbangsa Satu Bangsa Indonesia.
3.
Ketiga. Kami Putra dan Putri Indonesia Menjunjung Bahasa
Persatuan Bahasa Indonesia.
Kalau kita lihat, Sumpah Pemuda yang
mengatakan Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa Indonesia maka ada tiga aspek
Persatuan Indonesia yaitu:
1. Aspek Satu Nusa : yaitu aspek
wilayah, nusa berarti pulau, jadi wilayah yang dilambangkan untuk disatukan
adalah wilayah pulau-pulau yang tadinya bernama Hindia Belanda yang saat itu
dijajah oleh Belanda. Ini untuk pertama kali secara tegas para pejuang
kemerdekaan meng-klaim wilayah yang akan dijadikan wilayah Indonesia merdeka.
2. Aspek Satu Bangsa : yaitu nama
baru dari suku-suku bangsa yang berada di wilayah yang tadinya bernama Hindia
Belanda yang tadinya dijajah oleh Belanda memproklamirkan satu nama baru
sebagai Bangsa Indonesia. Ini adalah awal mula dari rasa nasionalisme sebagai
kesatuan bangsa yang berada di wilayah sabang sampai Merauke.
3. Aspek Satu Bahasa: yaitu agar
wilayah dan bangsa baru yang terdiri dari berbagai suku dan bahasa bisa
berkomunikasi dengan baik maka dipakailah sarana bahasa Indonesia yang ditarik
dari bahasa Melayu dengan pembaharuan yang bernuansakan pergerakan kearah
Indonesia yang Merdeka. Untuk pertama kali para pejuang kemerdekaan memproklamirkan
bahasa yang akan dipakai negara Indonesia merdeka yaitu bahasa Indonesia.
Hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 itulah pangkal tumpuan cita-cita
menuju Indonesia merdeka. Memang diakui bahwa persatuan berkali-kali mengalami
gangguan dan kerenggangan. Indonesia di jajah Belanda selama 350 tahun atau 3,5
Abad, maka untuk itu Indonesia memilih semboyang “Bhinneka Tunggal Ika” yang
bertujuan untuk mempersatukan bangsa Indonesia agar dapat mengusir penjajah
dari bumi ibu pertiwi ini.
Bhineka Tunggal Ika merupakan semboyan negara Indonesia sebagai dasar untuk
mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia, dimana kita haruslah dapat
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari yaitu hidup saling menghargai antara
masyarakat yang satu dengan yang lainnya tanpa memandang suku bangsa, agama, bahasa,
adat istiadat, warna kulit dan lain-lain.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau
dimana setiap daerah memiliki adat istiadat, bahasa, aturan, kebiasaan dan
lain-lain yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya tanpa adanya
kesadaran sikap untuk menjaga Bhineka Tunggal Ika pastinya akan terjadi
berbagai kekacauan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dimana setiap orang
akan hanya mementingkan dirinya sendiri atau daerahnya sendiri tanpa perduli
kepentngan bersama.
Oleh sebab itu, marilah kita jaga Bhineka Tunggal Ika dengan sebaik-baiknya
agar persatuan bangsa dan negara Indonesia tetap terjaga dan kita pun haruslah
sadar bahwa menyatukan bangsa ini memerlukan perjuangan yang panjang yang
dilakukan oleh para pendahulu kita dalam menyatukan wilayah Republik Indonesia
menjadi negara kesatuan.
Perkembangan Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn), di Indonesia menjadi
salah satu bukti dari implementasi Bhineka Tunggal Ika. Dengan hadirnya
Pendidikaan Kewarganegaraan pada dasarnya diharapkan dapat menumbuhkan rasa
kebangsaan/nasionalisme yang kuat. Sejarah panjang Bangsa Indonesia telah
diwarnai dengan berbagai perubahan dan gejolak politik yang pada dasarnya
menuntut satu bentuk pendidikan bagi warganegara atau PKn agar setiap individu
dan pribadi dalam masyarakat Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari
bangsa yang majemuk atau masyarakat yang pluralistik yang hanya mungkin
terbentuk karena adanya rasa persatuan sebagai bangsa yang berdaulat yang
dinamakan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
E. Urgensi Pendidikan
Multikultural di Indonesia
Adapun urgensi pendidikan
multikulturalisme di Indonesia diantaranya adalah: pertama, pendidikan multikultralisme berfungsi sebagai sarana
alternatif pemecahan konflik; kedua,
dengan pelajaran pendidikan berbasis multikultural, siswa diharapkan tidak
tercerabut dari akar budayanya; ketiga,
pendidikan multikulturalisme relevan di alam demokrasi seperti saat ini. untuk
mewujudkan multikulturalisme dalam dunia pendidikan, maka pendidikan
multikultural juga perlu dimasukan dalam kurikulum nasional, yang pada akhirnya
dapat menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang multikultural, serta
upaya-upaya lain yang dapat dilakukan guna mewujudkannya.
Di
bawah ini dapat di uraikan sebagai berikut:
1. Sebagai
Sarana Alternatif Pemecahan Konflik
Penyelengaraan pendidikan multikultural
di dunia pendidikan diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan
disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya yang kerap terjadi di
masyarakat Indonesia yang secara realitas plural (solusi pemecahan knflik).
Spektrum kultur masyarakat Indonesia yang beragam menjadi tantangan bagi dunia
pendidikan guna mengolah perbedaan tersebut menjadi aset, bukan sumber
perpecahan.
Saat ini pendidikan multikultral
mempunya dua tangunggjawab besar, yaitu: menyiapkan bangsa Indonesia untuk siap
menghadapi arus budaya luar diera globalisasi; dan “menyatukan” bangsa bangsa
sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya. Memang, pendidikan kebasaan
dan ideologi telah banyak diberikan di perguruan tinggi (PT), namun pendidikan
multikultural belum diberikan dengan proposi yang benar. Maka sekolah dan
perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan dapat mengembangkan pendidikan
multikultural dengan model masing-masing sesuai
asas otonomi pendidikan atau sekolah.
Menurut Choerul Mahfud, pendidikan
multikultural tersebut sebaiknya lebih ditekankan pada mata pelajaran,
kebansaan dan moral. Pada dasarnya model-model pembelajaran sebelumnya yang
berkaitan dengan kebangsaan memang sudah ada. Namun hal itu masih kurang memadai
sebagai sarana pendidikan guna menghargai perbedaan masing-masing suku, budaya,
etnis. Hal itu terlihat dengan munculnya konflik yang kerap terjadi pada
realitas kehidupan berbagsa dan bernegara saat ini.
Menurut Suyanto, pakar pendidikan,
masyarakat justru mengetahui lebih dalam mengenai “stereotip” suatu suku bangsa
dibandingkan mengenal apa yang sebenarnya dimiliki suatu suku tersebut. Maka
pendidikan multikultural dapat dikatakan berhasil jika terbentuk pada diri
siswa dan mahasiswa sikap hidup saling toleran, tidak bermusuhan dan tidak
berkonflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya, suku, bahasa, adat istiadat
atau lainnya.
Menurut Stephen Hill, Direktur
perwakilan Badan PBB Bidang Pendidikan
dan Budaya, UNESCO untuk kawasan Indonesia, Malaisya, Filiphina, dan Timor
Leste, pendidikan multikultral dapat dikatakan berhasil bila prosesnya
melibatan seluruh element masyarakat. Perubahan yang diharapkan dalam konteks
pendidikan multikultural ini tidak terletak pada justifikasi angka atau
statestik dan berorientasi statestik ansich
sebagaimana lazimnya penilaian keberhasilan pelaksanaan pendidikan di negeri
ini.
Namun, lebih dari itu, pada terciptanya
kondisi yang nyaman, damai, toleran, dalam kehidupan masyarakat, dan tidak
selalu muncul konflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya dan SARA. Bahkan
ada yang mengatakan, bahwa hasil dari pendidikan multikultural tidak dapat
ditentukan dengan standar waktu tertentu.
2. Supaya
Siswa Tidak Tercerabut dari Akar Budaya
Selain sebagai alternatif pemecahan
konflik, pendidikan multikultural juga signifikan dalam binaan siswa agar tidak
tercerabut dari akar budaya yang ia miliki sebelumnya, tatkala ia berhadapan
dengan realitas sosial-budaya di era globalisasi. Dalam era globalisasi saat
ini, pertemuan antar budaya menjadi “ancaman” serius bagi anak didik. Untuk
mensikapi realitas global tersebut, siswa hendaknya diberi penyadaran akan
pengetahuan yang beragam, sehingga mereka memiliki kompetensi yang luas akan
pengetahuan global, termaksud aspek kebudayaan.
Menurut Fuad Hasan, saat ini diperlukan
langkah antisipatif terhadap tantangan globalisasi, utamanya dari aspek
kebudayaan. Sebab, anak didik di Indonesia masa kini, dalam banyak hal, jauh
berbeda dengan anak-anak seusianya dimasa lalu. Berbagai budaya yang sudah ada
di negeri ini, berbaur dengan banyak budaya asing yang kian mudah diperoleh
melalui ragam media, seperti televisi dan internet.
Dari tangapan Fuad diatas, bisa kita
analisis bahwa tantangan dalam dunia pendidikan kita saat ini sangat berat dan
kompleks. Jika tidak ditanggapi secara serius dan disertai solusi
kongkret-utamanya pada pendidikan kita yang bertangnggjawab penuh atas kualitas
sumberdaya manusia (SDM) di negeri ini-maka anak-anak generasi bangsa ini bisa
kehilangan arah, tercerabut dar akar budaya sendiri.
Menurut H. A. R. Tilaar, pendidikan
multiultural telah menjadi satu tuntutan yang tidak dapat ditawar-tawar dalam
membangun Indonesia baru (pendidikan multikultural memerlukan kajian yang
mendalam mengenai konsep praksis pelaksanaannya). Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional tahun 2003 telah memberikan peluang untuk menjabarkan lebih
lanjut terhadap kosep pendidikan multikultural, utamanya daam pasal 4 ayat 1
yang mengatur tentang prinsip penyelengaraan pendidikan yang mempertimbangkan
nilai-nilai kultural masyarakat yang sangat beragam.
3. Sebagai
Landasan Pengembangan Kurikulum Nasional
Pengembangan kurikulum masa depan yang
berdasarkan pendekatan multikultural dapat dilakukan berdasarkan langkah-langkah
sebagai berikut:
a)
Mengubah filosofis kurikulum dari yang
berlaku seragam seperti saat ini kepada filosofis yang lebih sesuai dengan
tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit
pendidikan.filosofis kurikulum yang progresif
seperti humanisme, progresivisme, dan rekonstruksi sosial dapat
dijadikan landasan pengembangan kurikulum.
b)
Teori kurikulum tentang konten (currikulum content), haruslah berubah
dari teori yang mengartikan konten sebagai aspek substantif yang berisi fakta,
teori, generalisasi kepengertian yang mencakup pula nilai moral, prosedur,
proses dan keterampilan (skills) yang harus dimiliki generasi muda.
c)
Teori belajar yang digunakan dalam
kurikulm masa depan yang memerhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan
politik tidak boleh lagi hanya mendasarkan diri pada teori psikologi belajar
yang menempatkan siswa sebagai, makhluk sosial, budaya, politk, yang hidup
sebagai anggota aktif masyarakat, bangsa, dan dunia yang harus diseragamkan
oleh institusi pendidikan.
d)
Proses belajar yang dikembangkan untuk
siswa haruslah pula berdasarkan proses isomorphisme yang tinggi dengan
kenyataan sosial. Artinya proses belajar yang mengandalakan siswa belajar
secara individualistik dan bersaing secara kompetitif individualistik harus
ditinggalkan dan diganti dengan cara belajar berkelompok dan bersaing secara
kelompok dan bersaing secara kelompok dalam suatu situsasi positif.
e)
Evaluasi yang harus digunakan haruslah
meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan keperibadian peserta didik, sesuai
dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. Alat evaluasi haruslah beragam
sesuai dengan sifat, tujuan, dan informasi yang hendak dikumpulkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan,
bahwa defenisi pendidikan multikulturalisme sebagai pendidikan untuk/tentang
keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografi dan kultural yang
terjadi dilingkungan masyrakat tertentu, atau bahkan di dunia secara
keseluruhan.
Pendidikan multikultural seyogiyanya memfasilitasi
proses belajar mengajar yang mengubah prespektif monokultural yang
esensial, penuh prasangka dan
diskriminasi, ke prespektif
multikulturalis yang menghargai keragaman, perbedaan, toleran, dan sikap
terbuka.
Arti Bhinneka Tunggal Ika adalah berbeda-beda tetapi
satu jua yang berasal dari buku atau kitab sutasoma karangan Mpu Tantular/Empu
Tantular. Secara mendalam Bhineka Tunggal Ika memiliki makna walaupun di
Indonesia terdapat banyak suku, agama, ras, kesenian, adat, bahasa, dan lain
sebagainya namun tetap satu kesatuan yang sebangsa dan setanah air. Di
persatukan dengan bendera, lagu kebangsaan, mata uang, bahasa dan lain-lain
yang sama.
Adapun
urgensi pendidikan multikultural di
Indonesia, diantaranya:
1.
Pendidikan multikultural sebagai sarana
alternatif pemecahan konflik sosial.
2.
Pendidikan multikultural sebagai
pembinaan agar siswa tidak tercerabut dari akar kebudayaannya.
3.
Sebagai landasan pengembangan kurikulum
pendidikan nasional
B. Saran
Bagi para praktisi pendidikan terutama
guru dan dosen, hendaknya menanamkan nilai-nilai mulia dalam proses belajar
mengajar dengan cara memberikan pemahaman yang mulia menyangkut realitas
multikultural dan mempraktikan dalam kehidupan nyata, sehingga peserta didik
memiliki kompetensi nilai-nilai multikulturalisme.
Diharapkan juga kepada pemerintah mulai dari
pusat sampai daerah, agar selalu melihat kemajemukan dan pluralisme sebagai
kekuatan munculnya pendidikan multikultural. Dan semua elemen civil society,
agar bekerja sama dalam mewujudkan masyarakat multikulturalis (Bhineka Tunggal
Ika). Sebagaimana diperjuangkan oleh founding
fathers negara kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Mohammad dkk.2007. Ilmu dan
Aplikasi pendidikan. Bandung: Pedagogiana Press.
Choirul Mafud.
2011. Pendidikan Multikultural.
Pustaka Pelajar.
http://Wordpress.com/
Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia.html/. 2014.
http://Wordpress.com/
Pendidikan Multikultural.html/2014.
0 komentar:
Posting Komentar