PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA
Oleh: Ronaldus S. Rilman, S.Pd.
A.
Latar
Belakang
Dunia saat ini terasa kecil, hal ini
tentu dipengaruhi oleh perkembangan globaisasi yang membawa kita pada tatanan
dunia baru. Globalisasi melululantahkan negara-negara berkembang atau biasa
disebut dengan negara peri-peri (negara
pingiran). Dan salah satunya adalah negara Indonesia, globalisasi dalam
pengertian yang lain merupakan problem sejarah. Dengan demikian negara atau
bangsa manapun tidak akan bisa lari atau bersembunyi dari kejaran globalisasi.
Globalisasi dimaknai sebagai, kerja sama
antara dua negara yang saling menguntungkan (ekonomi/bilateral).
Dua negara yang secara ideologi, sosial, dan budaya yang tentunya berbeda. Oleh
karenanya, globalisasi diharapkan mampu membawa dunia pada tatanan yang lebih
bermartabat. Namun dewasa ini, globalisasi tidak lebih dari mesin pengerak para
penganut paham kapitalis.
Harapan kita sebagai bangsa yang besar,
yakni Bangsa Indonesia ialah lahirnya
“Pendidikan Multikultural” sebagai perekat antara manusia Indonesia mulai
dari Sabang sampai Merauke. Pendidikan Multikutural dianggap sangat penting
bagi negara-negara yang secara keberadaannya majemuk dan menjadi satu tantangan
tersendiri dalam mengelola pluralisme atas etnik atau kelompok yang ada.
Mengingat bangsa Indonesia merupakan
bangsa yang besar maka sudah menjadi tangunggjawab bagi generasi saat ini dalam
mempertahankan integritas bangsa kita. Di masa yang akan datang dunia mungkin
berwajah ganda dan manusia tidak lagi dipandang sebagai senyawa dari manusia
lainnya, melainkan seekor binatang (Homo-homenilupus).
Di dalam bukunya Samuel P. Huntington (Benturan Antara Peradaban), meramalkan
bahwa akan terjadi benturan antara peradaban. Benturan itu disinyalir akibat
beberapa faktor: politik, sosial, budaya, ekonomi, ras, bahkan agama.
Melihat fenomena tersebut, pendidikan di
Indonesia haruslah peka menghadapi arus perputaran globalisasi. Pengalaman
pahit semasa Orde Baru tidak perlu
berulang lagi. Pola pemaksaan kehendak oleh pemerintah untuk membentuk satu
kehidupan yang seragam melalui aturan-aturan dalam segala aspek kehidupan perlu
ditinjau ulang dan dipertanyakan.
Gelombang demokrasi menuntut pengakuan
perbedaan dalam tubuh bangsa Indonesia yang majemuk. Oleh sebab itu pendidikan
multikultural adalah jawaban atas beberapa problematika kemajuan itu. Perlu
disadari bahwa proses pendidikan adalah proses pembudidayaan dan cita-cita
persatuan bangsa merupakan unsur budaya nasional.
Pendidikan multikultural dapat
dirumuskan sebagai wujud kesadaran tentang keaneka ragaman kultur, hak-hak
asasi manusia serta pengurangan atau penghapusan bebagai jenis prasangka atau prejudise untuk membangun suatu
kehidupan masyarakat yang adil dan maju. Pendidikan multikultural juga dapat
diartikan sebagai strategi untuk mengembangkan kesadaran atas kebanggaan
seseorang terhadap bangsanya (the pride
in one’s home nation).
Di Indonesia pendidikan multikultural
relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi
masyarakat Indonesia yang heterogen, plural, terlebih pada masa otonomi dan
desentralisasi yang baru diberlakukan sejak 1999 lalu hingga saat ini.
Sebaliknya, pada level nasional,
berakhir sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan “monokulturalisme” yang nyaris seragam
telah memunculkan reaksi balik, yang bukannya tidak mengandung sejumlah implikasi
negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Berbarengan
dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, juga
terjadi peningkatan gejala “provinsialisme” yang hampir tumpang
tindih dengan “etnisitas”.
Kecenderungan ini, jika tidak
dikendaikan akan dapat menimbulkan bukan hanya disintegritas sosial-kultural
yang amat parah, bahkan juga disintegritas politik. Oleh karena itu pendidikan
multikultural dapat menjadi mediator dalam upaya membingkai segala perbedaan
dengan motto Bhineka Tunggal Ika.