Catatan Akhir Kuliah
(True story about me n' my College)
Selamat pagi kampus. Pagi yang
gerah walaupun sang fajar masih malu-malu muncul di antara awan yang berarak.
Mentari pagi itu membiaskan harapan dengan cahayanya yang lembut. Tapi sering
kali ia bohong, janji awal kehidupan yang baik itu, biasanya ingkar ketika
siang tiba. Kelembutan sang fajar kadang-kadang berganti menjadi garang dan
membakar atau ia malah lenyap dan mempersembahkan hujan lebat.
Cahaya lembut pagi berpadu
dengan dingin hingga menghasilkan embun. Titik air di atas daun itu tak pernah
tergesa-gesa untuk jatuh ke bumi. Kontras dengan para mahasiswa, dosen dan
pegawai di Kampus ini, meski malam baru saja di singkap matahari, mereka telah
berarak memenuhi kampus. Mereka menyambut kedatangan keluarga baru,
mahasiswa-mahasiwa baru yang dinyatakan lulus dan berhak mengenyam pendidikan
di kampus ini, manusia-manusia berpakaian putih hitam. Ingatanku melesat jauh
ke tiga tahun yang lalu.
Aku berdiri di sebuah barisan
bersama lainnya. Berbagai imaji bergeliat liar di kepalaku ketika itu, di
labirin berpikir seorang mahasiswa baru yang baru saja lulus jenjang pendidikan
SMU. Seorang siswa yang dengan mulus mampu lulus dari jerat Ujian Akhir
Nasional dan dengan keberuntungannya berhasil berstatus mahasiswa S1. Kampus,
tempat ini telah lama menghiasi mimpi-mimpiku, tempat mahasiswa bergeliat
dengan seabrek kegiatannya, berkuliah, berinteraksi dan berbagai kegiatan
humanis lainnya.
Mahasiswa-mahasiswa baru,
teman-temanku kala itu, tampak beragam. Ada yang
menyebut diri mereka adalah anak kota
yang dahulu bersekolah di sebuah SMU pusat bukan SMU cabang, istilah yang
selalu di gaungkan untuk mereka yang berasal dari sekolah daerah. Meski berasal
dari kota yang
sama namun mereka tetap beragam. Ada
yang terlihat sederhana. Berpakaian seadanya. Berkendaraan umum. Tetapi ada
pula yang terlihat mencerminkan masyarakat urban yang berkelas. Pakaian yang
bermerk. Gaya
berpakaian yang terlihat modern, Bahkan terkadang mereka memilih teman, hanya
bergaul sesamanya.
Sebagian mahasiswa baru berasal
dari daerah. Individu-individu tersebut biasanya menyatu dalam sebuah kelompok
berdasarkan asal mereka masing-masing. Beberapa di antara mereka memiliki bekal
yang cukup untuk menjadi perantau. Biasanya mereka berasal dari keluarga
ekonomi menengah ke atas. Tetapi ada yang hanya membawa mimpi dari sebuah
kampung nun jauh disana, dari sebuah desa entah berantah. Secara fisik mereka
tampak sederhana tapi dalam pikiran mereka tersimpan angan yang begitu tinggi
untuk merubah keadaan menjadi lebih baik. Kelompok terakhir ini yang biasanya
mendominasi organisasi kemahasiswaan.
Bagaimanapun keanekaragaman itu,
semua menyatu dalam sebuah kegiatan penyambutan Mahasiswa Baru. Satu kegiatan,
satu metode, satu sistem untuk beragam individu. Melebur perbedaan menjadi satu
untuk menciptakan kebersamaan dan kesolidan. Sebuah proses yang tidak sekedar
mengajarkan pengetahuan akademik dan kemampuan intelektual tetapi lebih dari
itu kegiatan ini
mampu membawaku ke ranah
kecerdasan emosi, memberi jalan untuk memahami arti kedewasaan, bahkan
membuatku mengerti arti perubahan. Memang kesadaran itu tak datang hari itu
juga, namun kegiatan inilah yang membukanya, kegiatan inilah yang memulainya.
Seingatku, beberapa orang yang
menyebut diri mereka senior terus berorasi di depan kami, walaupun terkadang
kami tak mengerti dengan apa yang mereka sampaikan. Kata-kata mereka tidak
familiar di telinga.
Setelah proses penyambutan dinyatakan
selesai, di sinilah kami di hadapkan pada beberapa pilihan. Memilih jalan
menjadi mahasiswa baru yang datang ke kampus, tidak mencoba menceburkan diri
dalam organisasi apapun, belajar, lulus dan setelah itu terserah hendak kemana.
Atau mencoba berjuang dengan mengikuti organisasi kemahasiswaan, namun
dilakukan setengah-setengah. Atau menjadi mahasiswa yang kritis terhadap
keadaan sekitarnya.
Aku tak begitu yakin memilih pintu yang mana di
kala itu. Dengan keluguanku, aku mengenyam bahwa mahasiswa punya tanggung jawab
sosial. Dengan kepolosanku, aku ingin berjuang dan dengan senang hati akan
menceburkan diri dan bergeliat dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan.
Kharisma serta retorika para senior-senior itu seakan menghipnotisku untuk
memikul keharusan moral untuk membuat bangsa ini lebih baik.
Hari terus berlari, minggu bergulir dan bulan pun
terus berganti. Tidak cukup setahun aku sudah begitu lekat dengan
langkah-langkah seseorang aktivis kemahasiswaan. Kegiatan demi kegiatan aku
ikuti, sebagai peserta hingga sebagai panitia. Aku pun semakin giat mencari
literatur yang mampu menunjang kegiatan-kegiatanku. Membaca buku dan
berdiskusi.
Seiring langkahku yang terus mengayuh, semakin
dalam aku selami organisasi kemahasiswaan itu. Namun makin aku hanyut dan
tenggelam, makin aku dapati penyimpangan-penyimpangan. Banyak hal yang
berbenturan dengan ideologi yang mereka ukir di setiap sel-sel otakku semenjak
aku dinyatakan sebagai mahasiswa baru. Mungkinkah karena aku yang terlalu
termakan retorika hingga masuk dan terjun ke dunia ini hanya karena
ikut-ikutan? Hanya sebagai bentuk aktualisasi diri agar bisa menjadi senior
yang berbicara di depan mahasiswa baru yang belum mengerti banyak?
Gerakan mahasiswa layaknya pertarungan dalam
kekuasaan negara yang penuh dengan kepentingan. Kepentingan-kepentingan pribadi
untuk mencapai ambisi masing-masing. Saat pemilihan ketua lembaga misalnya,
semua membawa kepentingan dan isu masing-masing. Kekuatan pikiran digunakan
untuk memenangkan calon tertentu agar bisa mendapatkan “sesuatu”. Apakah ada
perjuangan yang murni? Entahlah aku tak bisa menjawabnya.
Kebesaran organisasi kemahasiswaan hanyalah masa
lalu. Hanyalah dongeng senior. Mahasiswa kini hanya bisa terpukau tanpa bisa
memukau. Hanya mengamat tanpa bisa berbuat. Hanya mampu menatap namun enggan
melangkah dengan mantap. Terpenjara oleh sejarah. Merasa besar untuk hal yang
tidak mereka benah. Hingga akhirnya kehilangan arah.
Organisasi itu sangat rapuh. Bagaimana cara
mahasiswa mengemban tugas untuk memperbaiki sistem keorganisasian masyarakat
yang katanya sangat rapuh sedangkan sistem organisasinya sendiri jauh lebih
rapuh?
Namun semua tetap aku jalani bahkan ikut latah dan menjadi bagian. Makin
lama semuanya makin memuakkan. Ada
yang mengetuk-ngetuk hati nurani, bergejolak......bergolak.
***
Ini adalah gerakan moral yang murni atas dasar keinginan nurani yang
terpanggil. Setiap mahasiswa berhak mengenyam dan merasakannya. Termasuk mereka
yang berstatus mahasiswa baru.
Setidaknya ada yang terjun atau sengaja di
hanyutkan dalam laju gerakan mahasiswa. Tak peduli, apakah suatu hari nanti
mereka menyesal ketika menyadari kerapuhan organisasi ini. Tak peduli, apakah
suatu hari nanti mereka kecewa ketika mendapati keadaan yang tak seideal dalam
bayangan. Tak peduli, apakah mereka merasa terlambat untuk mundur dan mengambil
jalur yang lain.
Harusnya ada yang memulainya. Harusnya ada yang
membuka pintunya. Harusnya ada yang memudahkan jalannya agar mereka,
bibit-bibit baru, tumbuh dan akan mengubah segalanya menjadi lebih baik.
Tetapi ketika prosesi penyambutan mahasiswa baru dicekal, akankah hadir wajah
baru? Akankah ada yang akan memahami arti kebersamaan? Akankah ada regenerasi?
Akankah ada yang memaknai arti perubahan?
Masih adakah yang akan bertanggung jawab?
Pengkaderan adalah harga mati!
Meskipun dosen pernah mengenyam masa menjadi
mahasiswa, tetapi mereka tetap tidak berhak untuk membimbing mahasiswa baru
dalam memasuki dunia kemahasiswaan sesungguhnya. Kita beda masa wahai para
birokrasi. Kita berbeda masalah dan kita pun berbeda cara untuk menyelesaikan
semuanya. Sudah seharusnya suatu proses dan metode penerimaan mahasiswa baru
dilakukan oleh mahasiswa, untuk mahasiswa dan kepada mahasiswa. Eksistensi
prosesi penerimaan mahasiswa baru oleh mahasiswa harus tetap dipertahankan. Aku
sadar, bukan hanya sekedar ajang balas dendam apalagi ajang untuk pamer
retorika. Ini adalah sebuah panggilan moral. Prosesi penerimaan mahasiswa baru
harus tetap dilaksanakan.
Situasi makin hangat. Aku yakin aku sadar. Aku pun ikut-ikutan aktif pada
sebuah demo besar-besaran untuk mengadakan kegiatan tersebut. Sekali lagi aku
sadar. Aku berteriak lantang. Berorasi. Terlihat begitu kritis. Dan….
***
Aku kembali ke ruang waktuku dan menyimpan semua
nostalgia itu, di sebuah kotak di sel otakku. Kupicingkan mata melihat sebuah
pemandangan dari kejauhan. Beberapa aktivis mahasiswa itu berorasi dengan
argumentasi yang sangat meyakinkan di depan mahasiswa-mahasiswa baru.
Memperlihatkan kharisma yang memesona dan berucap dengan retorika yang begitu
indah. Mahasiswa-mahasiswa yang dulu entah kemana.
“Satu kata untuk penindasan, LAWAN!” teriak salah satu di antaranya sambil
mengepalkan tangan dan menaikkannya ke udara, lalu di lanjutkan orasi lainnya.
Tutup telinga kalian, wahai adik-adik mahasiswa baru. Tak semua yang kalian
dengar itu benar. Aku membatin.
Aktivis-aktivis itu memang banci tampil. Mereka
selalu ingin terlihat cerdas. Intelek. Berani. Hebat. Di ruang diskusi mereka
selalu tampak meraung-raung padahal obrolan mereka tak lebih dari sekedar debat
kusir. Dengan penuh kenikmatan mereka menyeruput kopi lalu menghisap rokok
dalam-dalam kemudian menyebarkan polusinya ke udara sembari menyampaikan
idealisme-idealisme yang hanya sampai di bibir saja, minus implementasi. Lidahnya
menari-nari mengkritisi kaum hedon, menghujat para sapi kapitalis padahal
mungkin mereka bagian dari itu. Dan mungkin termasuk aku.
Tak beberapa hari setelah peristiwa demonstrasi di
halaman rektorat hari itu, surat
keputusan bahwa aku dan beberapa teman lain harus berhadapan pada yang
berwajib. Kemana mereka saat keputusan itu dikeluarkan? Dimana lidah-lidah
tajam itu? Mengapa mereka tidak mengiris para birokrat yang mengeluarkan surat itu? Mengapa mereka
tiba-tiba menjadi ompong? Tak ada lagi gemeretak gigi, kehilangan taring kah?
Semangat yang membara saat ini, di depan mahasiswa baru yang belum tahu
apa-apa, raib kemana saat kami meminta uluran tangan? Ciutkah? Musnahkah?
Apakah mereka tak lagi melihat? Butakah? Atau telinganya sudah tak berfungsi lagi?
Tulikah?
Mereka tampak begitu takut mengalami hal yang sama seperti yang kami alami.
Tapi mereka juga tak punya nyali untuk menolong kami.
Kalian pikir, aku terkesan sinis dan mungkin sangat
sarkastis? Aku rasa tidak.
Kami siap jadi korban, kami tak mempermasalahkan itu. Bukankah sebuah perubahan
memang memerlukan pengorbanan? Tetapi jatuhnya korban ini, mengapa tak membuat
para kaum yang katanya intelektual itu jadi melek? Mengapa mereka tak juga
membenahi semuanya?
***
Sebenarnya aku sudah muak memasuki kampus ini. Tetapi percakapanku dengan
Juned, seorang mahasiswa yang terkena sanksi DO, seolah mendorongku untuk
kembali, bukan malah berlari. Menjauh. Menghindar. Terlepas. Tetapi berbalik
dan menghadapi.
“di…, kamu lihat hamparan padi itu?”
“Ya!” jawabku singkat dan memandang hamparn padi yang tumbuh didepan
kampusku..
“Mereka memang tampak kompak. Satu ke kanan lainnya ke kanan, satu ke kiri
lainnya pun ikut ke kiri. Tetapi bukan ke kompakan seperti itu yang kita cari
untuk memperbaiki penyimpangan di sekitar kita. Hamparan padi itu baru bergerak
ketika sang bayu berhembus. Bukan karena keinginan sendiri. Tidak punya
inisiatif. Hanya mengikuti. Kalau begitu, bagaimana perubahan itu akan menjadi
nyata?”
Aku terdiam melumat tiap baris kata-kata juned.
“Kamu mungkin masih lebih beruntung, masih bisa melanjutkan kuliah. Hanya di
skorsing. Sedangkan aku?”
“Aku mengerti apa yang kamu rasakan!”
“Kalau kau mau, kau bisa tetap menjadi dirimu sendiri, latah dan larut dalam
peradaban, punya banyak teman dan membiarkan sang bayu meniupkan jiwamu sesuka
hati. Atau kau terlepas dari mereka tetapi mungkin menghadapi kenyataan bahwa
kau akan sendiri. “
“Pilihan penting dalam hidup ini hanya
dua bro……., menerima hidup apa adanya atau menerima tanggung jawab untuk
merubahnya. Aku yakin kamu tahu persis pilihan mana yang harus kamu pilih dan
aku percaya kamu bisa menghadapi resiko pilihanmu itu!”
Ia seakan menjawab kediamanku.
“Ah… Sudahlah, aku harus pergi, tempatku tak di sini lagi. Paling tidak aku
bersyukur pernah mengenyam warna-warni kehidupan mahasiswa.”
“Lalu, kau mau kemana?”
“Terjun dalam denyut kehidupan nyata di luar sana !”
“Bukankah rimba di luar sana
jauh lebih ganas?”
“Yah… aku tahu. Dan aku tidak takut itu! Kaum muda seperti kita seharusnya
tidak takut, maju dan hadapilah sekeras apapun itu. Ingat, perubahan tidak
mungkin ditunggu, ia harus dijemput. ”
juned pun pergi meninggalkanku
sendiri di pelataran parker kampus. Meninggalkan kata-kata yang masih membekas
di palung jiwaku. bayangan punggungnya mengecil dan akhirnya menghilang. lalu
aku berdiri tegak dan dengan keyakinan melangkahkan kaki kembali memasuki
kampus.
Dan kini, pada hamparan padi yang menguning
Aku mencoba membuka sisi kelam
Membuka manipulasi atas nama pergerakan
Kembali membakar semangat tanpa takut kesendirian
Bukan hanya menunggu sang waktu tuk berubah.
SEKIAN
0 komentar:
Posting Komentar