Interferensi Bahasa Daerah di NTT Dalam Penggunaan Bahasa Indonesia
(Tinjauan Deskriptif Terhadap Mahasiswa Asal NTT di Yogyakarta)
Sarana komunikasi yang paling penting
pada masyarakat adalah bahasa. Oleh karena kedudukannya yang sangat penting,
maka membuat bahasa tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia dan selalu
ada dalam setiap aktivitas dan kehidupannya. Pemakaian bahasa dalam komunikasi
selain ditentukan oleh faktor-faktor Linguistik juga ditentukan oleh
faktor-faktor nonlinguistik atau luar bahasa, antara lain faktor sosial yang
merupakan faktor yang berpengaruh dalam penggunaan bahasa. Pandangan demikian
memang cukup beralasan karena pada dasarnya bahasa adalah bagian dari suatu
sistem sosial.
Kajian tentang bahasa yang dihubungkan
dengan faktor sosial merupakan suatu kajian yang sangat menarik. Perkembangan
penelitian tentang Sosiolinguistik tersebut sangat meningkat pada akhir tahun
1960-an. Hal ini disebabkan oleh luasnya objek penelitian yang menarik dan
dapat terus dikaji (Hudson, 1996:1-2). Hudson menyatakan bahwa Sosiolinguistik
mencakupi bidang kajian yang sangat luas, tidak hanya menyangkut wujud formal
bahasa dan variasinya, namun juga penggunaan bahasa di masyarakat. Penggunaan
bahasa tersebut mencakupi faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan, misalnya
faktor hubungan antara penutur dan mitra tuturnya.
Pendapat Hudson di atas didukung oleh
Gunarwan (2001a:55-56) yang menyatakan bahwa masyarakat tidak bersifat
monolitik, ia terdiri atas kelompok-kelompok sosial yang masing-masing
terbentuk oleh kesamaan fitur. Atas dasar ini Sosiolinguistik juga memandang
suatu bahasa itu terdiri atas ragam-ragam yang terbentuk oleh kelompok-kelompok
sosial yang ada. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pada tiap kelompok masyarakat
terdapat nilai-nilai sosial dan budaya yang khusus pada penggunaan bahasa
mereka yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya.
Dalam masyarakat tutur, bahasa
mempunyai ragam atau variasi yang digunakan oleh masyarakat penuturnya. Dengan
latar belakang sosial, budaya, dan situasi, masyarakat tutur dapat menentukan
penggunaan bahasanya. Dalam pandangan Sosiolinguistik, situasi kebahasaan pada
masyarakat bilingual (dwibahasa) ataupun multilingual (multibahasa) sangat
menarik untuk diteliti. Dengan adanya beberapa bahasa dalam interaksi verbal,
serta perkembangan bahasa pada masyarakat membuat penelitian pada bidang ini
selalu menarik untuk terus diteliti.
Menurut Fishman (1972) pemilihan
penggunaan bahasa oleh penutur tidak terjadi secara acak, melainkan harus
mempertimbangkan beberapa faktor, antara lain siapa yang berbicara, siapa lawan
bicaranya, topik apa yang sedang dibicarakan, dan di mana peristiwa tutur itu
terjadi. Dell Hymes menggolongkan faktor-faktor yang melatarbelakangi suatu
peristiwa tutur dalam komponen-komponen tutur. Komponenkomponen tersebut
disusun sedemikian rupa sehingga huruf awal tiap-tiap komponen tersebut dapat
membentuk singkatan yang mudah diingat, yaitu SPEAKING yang terdiri atas Setting
and Scene (latar), Participants (peserta), Ends (hasil), Act
Sequence (amanat), Key (cara), Instrumentalities (sarana), Norms
(norma), dan Genres (jenis). Hal-hal yang dikemukakan oleh Hymes
mengenai aturan sosial berbahasa sebenarnya tidak hanya menyangkut masalah
kesepakatan dalam pemakaian bahasa saja, tetapi juga mencakup fungsi bahasa
(Suhardi dan Sembiring, 2005:53).
Komunikasi
merupakan suatu kegiatan sosial (Kongres Bahasa, 1978:276). Dalam kegiatan ini
dikirim dan diterima lambang-lambang yang mengandung arti. Pemberian arti perlu
“sama” agar pengirim lambang (komunikator) dan penerima lambang (komunikan)
mengerti satu sama lain sehingga kegiatan komunikasi dapat berjalan dengan
baik. Komunikasi dapat melibatkan beberapa aspek. Alwasilah (1989:8)
menyatakan “komunikasi sebagai suatu proses melibatkan (1) pihak yang
berkomunikasi, (2) informasi yang dikomunikasikan, (3) alat komunikasi”. Tidak
ada komunikasi yang tidak melibatkan ketiga aspek di atas dan sesungguhnya
manusia tidak akan terlepas dari ketiga aspek tersebut. Dalam proses komunikasi digunakan bahasa sebagai pengantar.
Bahasa adalah
salah satu ciri paling khas yang manusiawi yang membedakannya dari
mahluk-mahluk lain (Nababan, 1984:1). Secara tradisional bahasa adalah alat
untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk
menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau juga perasaan (Chaer dan Agustina,
1995:19). Jadi, fungsi bahasa yang paling mendasar adalah sebagai alat
komunikasi, yakni sebagai alat pergaulan antarsesama dan alat untuk
menyampaikan pikiran.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang
bilingual atau dwibahasa, yaitu masyarakat yang menggunakan dua bahasa dalam
berkomunikasi. Dalam proses komunikasi masyarakat Indonesia menguasai bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional selain bahasa daerah masing-masing. Kedua
bahasa tersebut kadang digunakan dalam kehidupan sehari-hari secara bersamaan,
baik secara lisan maupun tulis. Situasi semacam ini memungkinkan terjadinya
kontak bahasa yang saling mempengaruhi. Saling pengaruh itu dapat dilihat pada pemakaian
bahasa Indonesia yang disisipi oleh kosa kata bahasa daerah atau sebaliknya
yang mencakup semua tataran. Hal ini pun juga terjadi dalam kegiatan komunikasi
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat NTT.
Masyarakat NTT tergolong dwibahasaan karena dalam
kegiatan komunikasi harian, mereka menggunakan dua bahasa sekaligus yaitu
bahasa daerah (B1) dan bahasa Indonesia (B2). Dengan adanya kondisi seperti
ini, mempengaruhi mereka dalam berbicara pada saat menggunakan satu bahasa.
Sengaja atau tidak, sering terjadi kesalahan dalam menggunakan bahasa tertentu
karena kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian dalam
kehidupan sehari-hari.
Terjadinya kontak bahasa yang merupakan gejala awal
interferensi. Suwito (1983:26-27) menyatakan “Adanya penyimpangan-penyimpangan
bukan berarti pengrusakan terhadap bahasa”. Interferensi merupakan fenomena
penyimpangan kaidah kebahasaan yang terjadi akibat seseorang menguasai dua
bahasa atau lebih. Suwito (1983:54) berpendapat bahwa Interferensi sebagai penyimpangan
karena unsur yang diserap oleh sebuah bahasa sudah ada padanannya dalam bahasa
penyerap. Jadi, manifestasi penyebab terjadinya interferensi adalah kemampuan
penutur dalam menggunakan bahasa tertentu.
Dari segi kebahasaan, interferensi dapat dibagi menjadi
dua, yaitu interferensi bentuk dan interferensi arti. Menurut Soepomo (1982:27)
,Interferensi bentuk meliputi unsur bahasa dan variasi bahasa, sedangkan
interferensi bahasa meliputi interferensi leksikal, morfologi, dan sintaksis.
Interferensi menurut Nababan (1984), merupakan kekeliruan yang terjadi sebagai
akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa daerah atau dialek kedalam
bahasa atau dialek kedua. Senada dengan itu, Chaer dan Agustin (1995:168)
mengemukakan bahwa interferensi adalah peristiwa penyimpangan norma dari salah
satu bahasa ke bahasa yang lain.
Sejalan dengan pemikiran diatas, penulis akan mencoba
membahas interferensi bahasa daerah di NTT dalam bahasa Indonesia yang
digunakan oleh mahasiswa asal NTT di Yogyakarta. Pembahasan ini akan mencakup
semua tataran interferensi bahasa yang meliputi leksikal, morfologi, dan
sintaksis.
Ada beberapa alasan yang mendorong penulis tertarik
untuk meneliti interferensi bahasa daerah di NTT dalam penggunaan bahasa
Indonesia, khususnya penggunaan bahasa Indonesia oleh mahasiswa asal NTT di
Yogyakarta. Pertama, penggunaan bahasa Indonesia yang terpengaruh bahasa daerah
di kalangan mahasiswa asal NTT tidak hanya berlangsung dalam situasi informal
tetapi juga dalam situasi formal.
Kedua, ungkapan gunakanlah bahasa
Indonesia yang baik dan benar telah menjadi slogan yang memasyarakat,
sepertinya harus diterapkan oleh kaum akademik dalam hal ini mahasiswa
khususnya penggunaan bahasa Indonesia oleh mahasiswa asal NTT.
Ketiga, adanya kesalahan pemahaman
atau persepsi ketika terjadi proses komunikasi antara mahasiswa asal NTT
(penutur) dengan mahasiswa luar (tindak
tutur), yang disebabkan karena bahasa yang digunakan oleh penutur terlalu
berbelit-belit.
Keempat, bahasa Indonesia dialek
daerah bagi kalangan kaum pelajar di NTT dipandang sebagai bahasa yang memiliki
tingkat prestise yang tinggi. Sehingga, dalam kegiatan komunikasi ragam daerah
ini lebih banyak digunakan daripada bahasa Indonesia yang baku.
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas dapat diidentifikasi
beberapa permasalahan, yaitu sebagai berikut.
1.
Bentuk-bentuk interferensi bahasa daerah di NTT ke
dalam bahasa Indonesia.
2.
Faktor-faktor penyebab terjadinya interferensi bahasa
daerah di NTT ke dalam bahasa Indonesia.
5.
Pengaruh interferensi bahasa daerah di NTT dalam
penggunaan bahasa Indonesia.
BATASAN MASALAH
Permasalahan-permasalahan
di atas tentu tidak akan dibahas seluruhnya. Hal ini
dilakukan dengan pertimbangan agar pembahasan dalam penelitian ini lebih
mendalam dan mengenai sasaran. Untuk itu, permasalahan
yang akan diteliti terbatas pada hal-hal berikut ini.
- Bentuk-bentuk
interferensi bahasa daerah di NTT kedalam bahasa Indonesia.
- Faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya interferensi bahasa daerah di NTT ke dalam bahasa Indonesia.
- Pengaruh
interferensi bahasa daerah di NTT terhadap penggunaan bahasa Indonesia.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut.
1. Apa
sajakah bentuk-bentuk interferensi bahasa daerah di NTT kedalam bahasa Indonesia?
2. Faktor-faktor
apa saja yang menyebabkan terjadinya interferensi bahasa daerah di NTT kedalam
bahasa Indonesia?
3. Apa
pengaruh interferensi bahasa daerah di NTT terhadap penggunaan bahasa
Indonesia?
TUJUAN
PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut.
- Mendeskripsikan
bentuk-bentuk interferensi bahasa daerah di NTT kedalam bahasa Indonesia.
- Mendeskripsikan
faktor-faktor penyebab terjadinya interferensi bahasa daerah di NTT kedalam
bahasa Indonesia.
- Mendeskripsikan
pengaruh interferensi bahasa daerah di NTT terhadap penggunaan bahasa
Indonesia.
Manfaat penelitian yang diharapkan dari hasil
penelitian ini adalah manfaat teoretis dan manfaat praktis.
Manfaat teoretis yang diharapkan adalah dapat menjadi referensi awal mengenai penelitian bidang linguistik lainnya, khususnya
kajian sosiolinguistik. Selain itu, hal ini dapat memperkaya pengetahuan
kebahasaan, khususnya mengenai interferensi bahasa, dalam hal ini interferensi
bahasa daerah kedalam bahasa Indonesia.
Manfaat
praktis yang dapat diharapkan dari penelitian ini adalah menjadi referensi bagi
mahasiswa, khususnya dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
I. LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA
Manusia
merupakan makhluk sosial. Manusia melakukan interaksi, bekerja sama, dan
menjalin kontak sosial di dalam masyarakat. Dalam hal ini, manusia membutuhkan
sebuah alat komunikasi, yaitu bahasa. Bahasa memungkinkan manusia untuk
membentuk kelompok sosial sebagai pemenuhan kebutuhannya untuk hidup bersama.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiolinguistik karena objek
penelitiannya berupa bahasa yang berkaitan dengan penggunaan bahasa itu dalam
masyarakat. Hal tersebut memungkinkan karena sosiolinguistik merupakan ilmu
interdisipliner yang mempelajari bahasa dalam kaitannya bahasa itu dalam
masyarakat (Chaer dan Leonie, 1995:2).
Sosiolinguistik
merupakan ilmu antardisiplin, yaitu melibatkan dua disiplin ilmu sosiologi dan
linguistik. Jadi, sosiolinguistik tidak lain merupakan ilmu yang bersifat
interdisipliner. Kebutuhan akan hadirnya sosiolinguistik semakin terasa apabila
kita menghadapi berbagai masalah kebahasaan yang ternyata tidak cukup hanya
diselesaikan dengan pendekatan linguistik. Akan tetapi, diperlukan pendekatan
nonlinguistik, khususnya disiplin ilmu sosiologi (Suwito, 1982: i).
Ilmu yang bersifat interdisipliner
merupakan ilmu yang melibatkan dua cabang disiplin ilmu untuk menghadapi
berbagai persoalan yang ada di dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, jelas
dikatakan bahwa sosiolinguistik terdiri atas dua unsur, yaitu sosiologi dan
linguistik. Linguistik adalah ilmu yang mempelajari atau membicarakan bahasa,
khususnya unsur-unsur bahasa, yaitu fonem, morfem, kata, frasa, klausa,
kalimat, serta hubungan antarunsur-unsur itu (struktur). Sosiologi adalah ilmu
yang berkaitan dengan ilmu sosial, yaitu berhubungan dengan masyarakat, kelompok-kelompok
masyarakat, dan fungsi-fungsi masyarakat. Jadi, sosiolingustik ialah studi atau
pembahasan mengenai bahasa yang berhubungan dengan penutur bahasa itu sebagai
anggota masyarakat (Nababan, 1991: 2).
Sesuai dengan namanya, kajian dalam
Sosiolinguistik adalah pemakaian bahasa dalam masyarakat. Secara luas, istilah
Masyarakat Tutur (Speech Comunity) atau bisa juga disebut dengan
Masyarakat Bahasa (Linguistic Comunity) digunakan oleh para linguis
untuk mengacu pada komunitas yang didasarkan pada bahasa (Hudson, 1996:24).
Sebenarnya terdapat banyak definisi
yang menjelaskan mengenai istilah masyarakat tutur. Istilah yang paling
sederhana untuk menjelaskan masyarakat
tutur adalah yang dikemukakan oleh Lyons (dalam Hudson, 1996:24) yang
menyatakan bahwa “masyarakat tutur adalah setiap orang yang menggunakan
bahasa tertentu (dialek)”. Definisi ini mirip dengan definisi yang
diberikan oleh Bloomfield (1933, diindonesiakan oleh Sutikno, 1995:40) dalam
bukunya yang berjudul “Language”. Ia memperkenalkan istilah masyarakat
bahasa dengan definisi suatu kelompok orang yang menggunakan sistem tanda
wicara yang sama dalam berinteraksi.
Halliday (1968, dalam Suhardi dan
Sembiring, 2005:54) menyatakan bahwa sekelompok orang yang merasa atau menganggap
diri mereka memakai bahasa yang sama disebut sebagai masyarakat bahasa. Frasa merasa
atau menganggap pada definisi di atas perlu digarisbawahi karena pada
kenyataan sehari-hari dua bahasa yang sama baik dalam tata bunyi, tata bahasa,
dan leksikon yang mengandung banyak kemiripan dapat disebut dua masyarakat
bahasa yang berbeda karena masyarakat tutur tersebut menganggap dua bahasa
tersebut berbeda. Sebagai contoh, secara linguistis bahasa Indonesia dan bahasa
Malaysia mempunyai tata bunyi, tata bahasa, dan lesikon yang mengandung banyak
kemiripan, namun karena masyarakat bahasa pemakai bahasa tersebut menganggapnya
sebagai dua bahasa yang berbeda, maka masyarakat bahasa penutur bahasa
Indonesia dan masyarakat bahasa penutur bahasa Malaysia tidak dapat disebut
satu masyarakat tutur yang sama.
Dari beberapa definisi tersebut,
pendapat yang diungkapkan oleh Fishman (1976:28) dirasa dapat merangkum semua
pendapat yang telah diuraikan sebelumnya. Fishman mengatakan bahwa masyarakat
tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal
satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya.
b.
Kedwibahasaan (Bilingualisme)
Penelitian Sosiolinguistik yang
mengkaji masalah kode bahasa tentu sangat erat kaitannya dengan kedwibahasaan.
Batasan konsep kedwibahasaan itu sendiri selalu mengalami perubahan. Istilah
ini kali pertama diperkenalkan pada abad ke-20 oleh Bloomfield dalam bukunya Language
(1933, diindonesiakan oleh Sutikno, 1995:54) yang mengartikan kedwibahasan
sebagai penguasaan dua bahasa seperti penutur asli. Definisi yang diberikan
oleh Bloomfield ini mengimplikasikan pengertian bahwa seorang dwibahasawan
adalah orang yang menguasai dua bahasa dengan sama baiknya. Definisi yang
diberikan oleh Bloomfield tersebut dirasa sangat berat karena dapat diartikan
bahwa seseorang baru bisa dikatakan seorang dwibahawan jika bahasa kedua yang
dikuasainya sama baiknya dengan bahasa pertama.
Definisi selanjutnya diberikan oleh
Einar Haugen (1966, dalam Suhardi dan Sembiring, 2005:58) yang mengartikannya
sebagai kemampuan memberikan tuturan yang lengkap dan bermakna dalam bahasa
lain. Definisi ini merupakan definisi yang lebih sempit batasannya dibandingkan
dengan definisi yang diajukan oleh Bloomfield karena adanya batasan yang diberikan,
yakni hanya orang yang mampu bertutur secara lengkap dan bermakna saja yang
dapat disebut sebagai dwibahasawan. Selanjutnya, W.F. Mackey (1972:554)
menggambarkan kedwibahasaan sebagai penggunaan bahasa secara bergantian dua
bahasa atau lebih oleh seseorang yang sama. Kondisi dan situasi yang dihadapi
seorang dwibahasawan turut menentukan pergantian bahasa-bahasa yang dipakai.
Dari tiga pengertian di atas, konsep
kedwibahasaan telah mengalami penyederhanaan dan perlunakan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Istiati. S (1985:10) yang menyatakan bahwa konsep kedwibahasaan
setiap waktu semakin diperlunak. Walaupun mengalami penyederhanaan dan
perlunakan konsep, namun tentu saja definisi tersebut tidak terlepas dari
batasan-batasan kedwibahasaan.
Hubungan yang terjadi antara kedwibahasaan dan
interferensi sangat erat terjadi. Hal ini dapat dilihat pada kenyataan
pemakaian bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Situasi kebahasaan masyarakat
tutur bahasa Indonesia sekurang-kurangnya ditandai dengan pemakaian dua bahasa,
yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu dan bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional. Situasi pemakaian seperti inilah yang dapat memunculkan percampuran
antara bahasa nasional dan bahasa Indonesia. Bahasa ibu yang dikuasai
pertama, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pemakaian bahasa kedua, dan
sebaliknya bahasa kedua juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap pemakaian
bahasa pertama. Kebiasaan untuk memakai kedua bahasa lebih secara bergantian
disebut kedwibahasaan. Peristiwa semacam ini dapat menimbulkan interferensi.
Interferensi secara umum dapat diartikan sebagai
percampuran dalam bidang bahasa. Percampuran yang dimaksud adalah percampuran
dua bahasa atau saling pengaruh antara kedua bahasa. Hal ini dikemukakan oleh
Poerwadarminto dalam Pramudya (2006:27) yang menyatakan bahwa interferensi
berasal dari bahasa Inggris interference
yang berarti percampuran, pelanggaran, rintangan.
Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh
Weinreich (1968:1) untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa
sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa
lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Penutur yang bilingual adalah
penutur yang menggunakan dua bahasa secara bergantian, sedangkan penutur multilingual
merupakan penutur yang dapat menggunakan banyak bahasa secara bergantian.
Peristiwa interferensi terjadi pada tuturan dwibahasawan sebagai kemampuannya
dalam berbahasa lain.
Weinreich (1968:1) juga mengatakan bahwa interferensi
adalah bentuk penyimpangan penggunaan bahasa dari norma-norma yang ada sebagai
akibat adanya kontak bahasa karena penutur mengenal lebih dari satu bahasa.
Interferensi berupa penggunaan bahasa yang satu dalam bahasa yang lain pada
saat berbicara atau menulis. Didalam proses interferensi, kaidah pemakaian
bahasa mengalami penyimpangan karena adanya pengaruh dari bahasa lain.
Pengambilan unsur yang terkecil pun dari bahasa pertama ke dalam bahasa kedua
dapat menimbulkan interferensi.
Poedjosoedarmo (1989:53) menyatakan bahwa interferensi
dapat terjadi pada segala tingkat kebahasaan, seperti cara mengungkapkan kata
dan kalimat, cara membentuk kata dan ungkapan, cara memberikan kata-kata
tertentu, dengan kata lain inteferensi adalah pengaturan kembali pola-pola yang
disebabkan oleh masuknya eleman-elemen asing dalam bahasa yang berstruktur
lebih tinggi, seperti dalam fonemis, sebagian besar morfologis dan sintaksis,
serta beberapa perbendaharaan kata (leksikal).
Dalam proses interferensi, terdapat tiga unsur yang
mengambil peranan, yaitu: Bahasa sumber atau bahasa donor, bahasa penyerap atau
bahasa resipien, dan unsur serapan atau importasi. Dalam peristiwa kontak bahasa, mungkin sekali
pada suatu peristiwa, suatu bahasa menjadi bahasa donor, sedangkan pada
peristiwa yang lain bahasa tersebut menjadi bahasa resipien. Saling serap
adalah peristiwa umum dalam kontak bahasa.
Hortman dan Stork melalui Alwasilah (1985:131)
menganggap interferensi sebagai kekeliruan yang disebabkan terbawanya
kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa atau dialek bahasa ibu ke dalam bahasa atau
dialek kedua. Maksud interferensi merupakan kekeliruan yng disebabkan oleh
adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap
bahasa lain, mencakup pengucapan satuan bunyi, tata bahasa, dan kosakata.
Jadi berdasarkan
pendapat-pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa.
a) Interferensi
merupakan gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain.
b) Interferensi
merupakan penerapan dua buah sistem secara serempak kepada suatu unsur bahasa.
c) Interferensi
merupakan gejala penyimpangan bahasa yang terjadi sebagai akibat dari gejala
tutur (speech parole).
d) Interferensi
merupakan suatu penggunaan unsur-unsur dari satu bahasa ke bahasa yang lain
baik secara lisan atau tertulis.
Interferensi yang
terjadi antara bahasa daerah yang ada di NTT dalam pemakaian bahasa Indonesia
disebabkan adanya pertemuan atau persentuhan antara dua bahasa tersebut.
Interferensi ini bisa terjadi pada lafal, pembentukan kata, pembentukan
kalimat, dan kosakata.
d. Bentuk-bentuk
Interferensi
Suwito (1983:55) mengemukakan bahwa interferensi dapat
terjadi dalam semua komponen kebahasaan, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis,
semantik, leksikal (kosakata).
Jendra (1991:108) membedakan
interferensi menjadi lima aspek kebahasaan, sebagai berikut.
a)
Interferensi pada bidang sistem tata bunyi (fonologi)
b)
Interferensi pada tata bentukan kata (morfologi)
c)
Interferensi pada tata kalimat (sintaksis)
d)
Interferensi pada kosakata (leksikal)
e)
Interferensi pada bidang tata makna (semantik)
Chaer
dan Agustin (2004:162-165) mengidentifikasi interferensi berdasarkan bentuknya,
yaitu:
a)
Interferensi fonologi terjadi apabila penutur
mengungkapkan kata-kata dari suatu bahasa dengan menyisipkan bunyi-bunyi bahasa dari bahasa lain. Interferensi
fonologis dibedakan menjadi dua macam, yaitu interferensi fonologis pengurangan
huruf dan interferensi fonologis pergantian huruf.
Contoh: B1 B2
Slalu selalu
Smua semua
Rame ramai
b)
Interferensi morfologis
Interferensi morfologis terjadi apabila dalam
pembentukan katanya suatu bahasa menyerap afiks-afiks bahasa lain. Penyimpangan
struktur itu terjadi karena kontak bahasa anatara bahasa yang diucapkan (B1)
dengan bahasa lain yang dikuasainya (B2).
Interferensi sintaksis terjadi apabila struktur bahasa
lain (B2) digunakan dalam pembentukan bahasa yang sedang digunakan (B1).
Penyerapan unsur kalimatnya dapat berupa kata, frase, dan klausa.
Contoh: Mereka
akan kaweng bulan depan.
Karena saya sudah basudara deng dia, saya pasti merasakan
kesedihannya.
Interferensi
semantis terjadi dalam bidang tata makna. Menurut bahasa resipiennya,
interferensi semantis dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu interferensi
ekspansif dan interferensi aditif.
·
Interferensi
ekspansif, yaitu interferensi yang terjadi apabila bahasa yang tersisipi (B1)
menyerap konsep kultural beserta namanya dari bahasa lain (B2).
Contoh:
Teman-temanku tambah gokil saja.
·
Interferensi
aditif, yaitu interferensi yang muncul dengan penyesuaian dan interferensi yang
muncul berdampingan dengan bentuk lama dengan makna yang agak khusus.
Contoh: mbak Ari cantik sekali.
- Kajian Pustaka
Penelitian tentang interferensi sangat penting, terbukti
dikenal beberapa peneliti yang mulai menulis sejak tahun 1950 seperti
Weinreich, Haugen, Ferguson, Mackey, Lado, dan Richard. Di Indonesia,
penelitian tentang interferensi bahasa saat ini sudah banyak dilakukan, baik
oleh mahasiswa ataupun juga oleh dosen serta beberapa penulis. Diantaranya,
judul karya ilmiah yang di tulis oleh dosen Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara ( FS USU) Drs. Irwan (2006) yang berjudul “Interferensi Bahasa Derah Terhadap Perkembangan Bahasa Indonesia”.
Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas
Diponegoro (UNDIP) Semarang Avid Setiyowati (2008) berupa skripsi yang berjudul
“Interferensi Morfologi dan Sintaksis
Bahasa Jawa dalam Bahasa Indonesia pada Kolom Piye ya? Harian Suara Merdeka”.
Penelitian ini lebih ditekankan pada interferensi yang terjadi pada tataran
morfologi dan sintaksis bahasa Jawa.
Penelitian lain tentang interferensi juga pernah dilakukan di
Universitas Muhammadiyah Makassar oleh Nuraeni (2003) dalam skripsinya yang
berjudul “Interferensi Bahasa Bugis
Terhadap Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Berkomunikasi oleh Siswa SLTP Negeri
4 Kahu Kabupaten Bone”. Adapun penelitian ini mengkaji tentang penggunaan
bahasa Indonesia yang mendapat pengaruh dari bahasa daerah dalam kegiatan
komunikasi yang dilakukan oleh siswa SMP.
Dari penelitian-penelitian diatas, peneliti terinspirasi
untuk meneliti interferensi bahasa daerah di NTT dalam penggunaan bahasa
Indonesia yang sejauh ini sepengetahuan penulis masih jarang diteliti.
Penelitian ini lebih ditekankan pada penggunaan bahasa Indonesia oleh mahasiswa
asal NTT di Yogyakarta yang mengalami interferensi oleh bahasa daerah.
Penelitian tentang interferensi
bahasa ini berkaitan dengan hal-hal, khususnya fenomena kebahasaan yang
bersifat natural. Artinya, data yang dikumpulkan berasal dari lingkungan yang
nyata dan dan apa adanya, yaitu tentang bentuk dan jenis interferensi bahasa.
Di samping itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif. Hal ini disebabkan data yang terkumpul, dianalisis, serta
dipaparkan secara deskriptif.
Metode
penelitian deskriptif memang berbeda dengan metode-metode lainnya, seperti
metode preskriptif atau yang lainnya. Metode penelitian deskriptif
memiliki beberapa ciri, yaitu (1) tidak mempermasalahkan benar atau salah objek
yang dikaji, (2) penekanan pada gejala aktual atau pada yang terjadi pada saat
penelitian dilakukan, dan (3) biasanya tidak diarahkan untuk menguji hipotesis.
Penelitian deskriptif tidak
dimaksudkan untuk menguji suatu hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan
apa adanya tentang suatu variabel, gejala atau keadaan. Dalam penelitian ini
data yang terkumpul berupa kata-kata dan bukan dalam bentuk angka. Oleh karena
itu, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif
memiliki ciri-ciri, yaitu (1) penyajian hasil penelitian ini berupa penjabaran
tentang objek, (2) pengumpulan data dengan latar alamiah, dan (3) peneliti
menjadi instrumen utama.
Data merupakan hasil pencatatan penelitian, baik
berupa fakta-fakta maupun angka. Data adalah segala fakta dan angka yang dapat
dijadikan bahan untuk menyusun suatu informasi, sedangkan informasi adalah
hasil pengolahan data yang dipakai untuk suatu keperluan.
Data penelitian ini berupa kata atau kalimat berbahasa
Indonesia yang mengandungt interferensi bahasa daerah di NTT. Dalam hal ini,
bahasa Indonesia yang sering digunakan oleh kalangan mahasiswa asal NTT. Di
samping itu, sumber data penelitian tentang interferensi bahasa ini berasal
dari buku, skripsi, dan karya ilmiah. Buku-buku tersebut antara lain: (1) Kamus Umum Bahasa Indonesia, (2) Sosiolinguistik Umum karangan Abdul
Chaer, (3) Sosiologi Bahasa karangan
Alwasilah, (4) Sosiolinguistik Suatu
Pengantar karangan Abdul Chaer dan Leonie Agustina, dan (5) Sosiolinguistik karangan Sumarsono.
Sumber data penelitian ini berasal dari skripsi yang
berhubungan dengan kajian mengenai interferensi bahasa “Interferensi Bahasa Bugis Terhadap Penggunaan Bahasa Indonesia dalam
Berkomunikasi oleh Siswa SLTP Negeri 4 Kahu Kabupaten Bone”,disusun oleh Nuraeni. Di samping itu, sumber data
penelitian ini pun berasal dari karya ilmiah yang berjudul “Interferensi Bahasa Derah Terhadap
Perkembangan Bahasa Indonesia”, disusun oleh Irwan. Hasil kajiannnya berupa
kajian tentang interferensi B1 terhadap B2.
Instrumen
penelitian merupakan alat pelengkap yang digunakan untuk menunjang proses
penelitian dengan menggunakan data sebagai bahannya. Dalam penelitian
kualitatif peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat
pengumpul data yang utama (Moleong, 1989: 5). Dalam penelitian ini yang
dijadikan instrumen adalah peneliti atau penulis sendiri sebagai alat atau
instrumennya. Penulis melakukan serangkaian kegiatan dari perencanaan,
pengumpulan data, dan analisis data sampai pada tahap hasil penelitian.
Dalam
melakukan observasi dan melakukan pencatatan digunakan kartu data. Hal ini
dimaksudkan agar peneliti atau penulis lebih mudah dalam menganalisis penggunaan
bahasa Indonesia yang mendapat pengaruh dari bahasa daerah. Kartu data akan sangat membantu
penelitian. Penggunaan kartu data berarti menjaring data dengan teknik catat.
Data yang dijaring dari sumber lisan
dapat langsung dicatat pada kartu data. Kartu data yang digunakan untuk
mencatat dapat berupa kertas HVS, manila, bufalo, atau yang lainnya dengan
ukuran yang sesuai (Kesuma, 2007: 45).
Sesuai dengan ketentuan di atas penelitian ini
menggunakan kartu data dalam penjaringan datanya. Kartu data yang digunakan ialah kertas kuarto (A4) yang berukuran 80 gram. Dipilihnya
jenis kertas ini karena lebih praktis dan mudah dibawa.
4.
Metode dan Teknik Penyediaan Data
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode simak. Metode simak atau metode observasi ialah
metode yang dilakukan dengan menyimak (menyadap) penggunaan bahasa seseorang
atau beberapa orang (Kesuma, 2007:43).
Dalam metode penyediaan data
digunakan teknik, yaitu teknik simak bebas libat cakap dan teknik catat. Teknik
simak bebas libat cakap dapat dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa tanpa
ikut berpartisipasi dalam proses pembicaraan (Kesuma, 2007:44). Dalam hal ini,
teknik penyediaan data berbentuk tulisan, yaitu sumber data yang berupa
buku-buku, makalah, dan karya ilmiah tentang interferensi bahasa.
Dalam penelitian ini juga digunakan
teknik catat. Teknik catat adalah teknik menjaring data dengan mencatat hasil
penyimakan pada suatu data tertentu (Kesuma, 2007 : 44-46). Teknik catat ini
ditujukan untuk mengamati fenomena-fenomena kebahasaan yang terjadi dalam suatu
kelompok masyarakat atau komunitas, yaitu penggunaan bahasa Indonesia yang
mendapat pengaruh dari bahasa daerah. Di
samping itu, data-data yang diperoleh secara wajar dan alami.
5.
Metode dan Teknik Analisis Data
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode agih. Istilah lain untuk metode agih adalah metode
distribusional (Sudaryanto, 1985). Metode agih ialah metode analisis yang alat
penentunya ada di dalam merupakan bagian dari bahasa yang diteliti (Sudaryanto,
1985; 1993:15). Teknik yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik ganti dan teknik perluas. Teknik ganti, yang biasa
disebut pula dengan istilah teknik distribusi (Verhaar, 1981:108). Teknik ganti
adalah teknik analisis data dengan cara mengganti satuan kebahasaan tertentu di
dalam suatu konstruksi dengan satuan kebahasaan yang lain di luar konstruksi
yang bersangkutan (Kesuma, 2007 : 58-59). Dengan kata lain, teknik ini dapat
digunakan dalam hubungan yang hampir mirip antara proses pembentukan dan makna
kata bahasa Indonesia
dengan proses pembentukan dan makna kata bahasa daerah. Bahasa daerah tidak
mempunyai rumusan atau struktur yang baku
seperti halnya bahasa Indonesia.
Teknik perluas juga digunakan
dalam penelitian ini. Teknik perluas ialah teknik analisis data dengan cara
memperluas satuan kebahasaan yang dianalisis dengan menggunakan satuan
kebahasaan tertentu (Kesuma, 2007: 59). Dalam hal ini, satuan kebahasaannya
adalah bahasa derah . Teknik ini digunakan untuk mengetahui proses pembentukan
dan makna bahasa daerah dengan menggunakan satuan kebahasaan tertentu,
khususnya bahasa Indonesia sebagai teknik analisis datanya.
6.
Metode Penyajian Hasil Data
Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan metode
informal. Penyajian informal yaitu berupa rumusan dengan menggunakan kata-kata
biasa (Sudaryanto, 1993:144-159). Alasan digunakannya metode informal dalam
penyajian hasil analisis karena penelitian ini bersifat deskriptif. Maksudnya
pendeskripsian dari dari gejala atau keadaan yang terjadi pada objek data
penelitian. Interferensi diungkapkan secara apa adanya berdasarkan pada data,
sehingga hasil penelitian ini benar-benar merupakan suatu fenomena bahasa yang
sesungguhnya.
Data yang sudah dianalisis kemudian diberi penjelasan
dibawahnya mengenai jenis interferensi, analisis dan sumber data.
DAFTAR
PUSTAKA
Alwasilah, Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta.
Rineka Cipta.
Chaer, A. dan Agustina, L. 1995. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Fernandez, Inyo Yos. 1996. Relasi Historis Kekerabatan
Bahasa Flores: Kajian Historis Komparatif Terhadap Sembilan Bahasa di Flores. Ende: Nusa Indah.
Irwan. 2006. Karya Ilmiah: “Interferensi Bahasa Daerah Terhadap Perkembangan Bahasa Indonesia”.
Medan: Universitas Sumatera Utara.
Keraf, Gorys. 1994. Diksi dan Gaya
Bahasa. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
.
1989.
Komposisi. Flores:
Nusa Indah.
Kesuma,
Tri Mastoyo Jati. 2007. Pengantar
(Metode) Penelitian Bahasa.Yog-
karta: Carasvatibooks.
Keraf,
Gorys. 1996. Linguistik Bandingan
Historis. Jakarta: PT Gramedia
Kridalakasana,
Harimurti dan Anton Moeliono (Ed.). 1982. Pelangi
Bahasa.
Jakarta: Bhratara.
Nababan, P. W. J. 1991. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nuraeni. 2003. Skripsi: “Interferensi
Bahasa Bugis Terhadap Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Berkomunikasi oleh
Siswa SLTP Negeri 4 Kahu Kabupaten Bone”. Makassar: Universitas
Muhammadiyah Makassar.
Samsuri. 1994. Analisis Bahasa. Jakarta:
Erlangga.
Sudaryanto, dkk. 1991. Metode Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta:
Duta Wacana University
Perss.
Sumarsono dan Partana. P. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta.
Sabda.
Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Praktik. Surakarta: Henary Offset.
Sumarsono, P.P. 2002. Sosiolinguistik.
Yogyakarta: Sabda.
Setiyowati, Avid. 2008. Skripsi: “Interferensi Morfologi dan Sintaksis Bahasa Jawa dalam Bahasa
Indonesia pada Kolom Piye ya? Harian Suara Merdeka”. Semarang: Universitas
Diponegoro.