Pages

Ads 468x60px

Selasa, 27 November 2012


SAIL KOMODO 2013


Kupang, Pelaksanaan Sail Komodo 2013 akhirnya disetujui setelah adanya kesepakatan antara Pemerintah Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) H.R. Agung Laksono.
"Tidak ada sail lain 2013, selain Sail Komodo," kata Humas Sail Komodo, Welly Pah, kepada wartawan di Kupang, Selasa, (23/10/ 2012).

Pemerintah NTT dan Menko Kesra telah menetapkan 2013 dilaksanakan Sail Komodo di Nusa Tenggara Timur, setelah dilaksanakan Sail Morotai 2012. Sebelumnya ada beberapa daerah di Kalimantan yang juga mengusulkan pelaksanaan sail pada 2013.

Menurut Welly, Menko Kesra sudah memutuskan provinsi lain yang juga mengusulkan pelaksanaan sail hanya boleh melaksanakan festival. Sebab, pada 2013 hanya ada satu sail yang digelar yakni Sail Komodo. "Tidak boleh ada dua sail pada 2013," katanya.

Awalnya, kata Welly, pemerintah pusat meragukan pelaksanaan Sail Komodo, karena perencanaan yang dipaparkan cukup padat dan memakan waktu yang cukup lama. Namun, setelah dijelaskan bahwa NTT hampir setiap tahun menerima peserta sail Indonesia, karena merupakan pintu masuk para pelaut, akhirnya disetujui pelaksanaan sail komodo ini.

Welly  menambahkan, walaupun Sail Komodo sudah ditetapkan, sejauh ini belum ada keputusan presiden (Kepres) tentang pelaksanaan sail ini. "Kami masih menunggu Kepres. Namun, dipastikan 2013 digelar Sail Komodo," katanya. (Tc/Gs).


http://www.menkokesra.go.id/content/hanya-ada-1-sail-pada-2013-sail-komodo

Cerpen


Catatan Akhir Kuliah
(True story about me n' my College)


Selamat pagi kampus. Pagi yang gerah walaupun sang fajar masih malu-malu muncul di antara awan yang berarak. Mentari pagi itu membiaskan harapan dengan cahayanya yang lembut. Tapi sering kali ia bohong, janji awal kehidupan yang baik itu, biasanya ingkar ketika siang tiba. Kelembutan sang fajar kadang-kadang berganti menjadi garang dan membakar atau ia malah lenyap dan mempersembahkan hujan lebat.
Cahaya lembut pagi berpadu dengan dingin hingga menghasilkan embun. Titik air di atas daun itu tak pernah tergesa-gesa untuk jatuh ke bumi. Kontras dengan para mahasiswa, dosen dan pegawai di Kampus ini, meski malam baru saja di singkap matahari, mereka telah berarak memenuhi kampus. Mereka menyambut kedatangan keluarga baru, mahasiswa-mahasiwa baru yang dinyatakan lulus dan berhak mengenyam pendidikan di kampus ini, manusia-manusia berpakaian putih hitam. Ingatanku melesat jauh ke tiga tahun yang lalu.

Sabtu, 03 November 2012

RPP Bahasa Indonesia SMK XI/I







RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN



Satuan Pendidikan                  : SMK Taman Siswa Jetis Yogyakarta
Kompetensi Keahlian              : Mesin dan Listrik
Mata Pelajaran                        : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester                        : XI /I
Alokasi Waktu                        : 90 menit
KKM                                       : 6,50
Standar Kompetensi               : Berkomunikasi dengan bahasa Indonesia setara tingkat madia.
Kompetensi Dasar                   : 3.1 Menemukan perbedaan paragraf induktif dan deduktif melalui kegiatan membaca intensif.
Indikator                                 :
1.   Mengidentifikasi gagasan utama setiap paragraf.
2.   Menentukan paragraf yang termasuk dalam paragraf induktif dan deduktif berdasarkan letak gagasan utama.
3.   Menulis paragraf deduktif dan induktif berdasarkan topik tertentu.

Kamis, 01 November 2012

Jogja Never Ending


JALAN MALIOBORO, YOGYAKARTA
Mutiara di Pusat Kota

YOGYAKARTA, kota ini akan selalu menawarkan kerinduan bagi orang-orang yang pernah mengunjunginya. Banyak sekali hal-hal yang menjanjikan dan tentunya sangat menarik  yang ditawarkan kota ini, mulai dari wisata kuliner, tempat pariwisata, kebudayaan, situs sejarah dan masih banyak lagi. Namun, bagi orang yang pernah mengunjunginya satu tempat yang membuat orang-orang enggan untuk melupakan kota ini  yaitu  Jalan Malioboro. Jalan ini sangat strategis karena terletak di pusat kota dan dekat dengan Stasiun Tugu yang merupakan salah satu akses pintu masuk kota Yogyakarta.

Selasa, 30 Oktober 2012

Proposal PTK; Pendekatan Pragmatik dalam Meningkatkan Keterampilan Berbicara



I. JUDUL PENGGUNAAN PENDEKATAN PRAGMATIK DALAM UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA BAGI SISWA SMPN 2 POCO RANAKA KABUPATEN MANGGARAI TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR

II. BIDANG KAJIAN
Keterampilan berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMPN II.

III. LATAR BELAKANG MASALAH
Salah satu aspek keterampilan berbahasa yang sangat penting peranannya dalam upaya melahirkan generasi masa depan yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya adalah keterampilan berbicara. Dengan menguasai keterampilan berbicara, peserta didik akan mampu mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara cerdas sesuai konteks dan situasi pada saat dia sedang berbicara. Keterampilan berbicara juga akan mampu membentuk generasi masa depan yang kreatif sehingga mampu melahirkan tuturan atau ujaran yang komunikatif, jelas, runtut, dan mudah dipahami. Selain itu, keterampilan berbicara juga akan mampu melahirkan generasi masa depan yang kritis karena mereka memiliki kemampuan untuk mengekspresikan gagasan, pikiran, atau perasaan kepada orang lain secara runtut dan sistematis. Bahkan, keterampilan berbicara juga akan mampu melahirkan generasi masa depan yang berbudaya karena sudah terbiasa dan terlatih untuk berkomunikasi dengan pihak lain sesuai dengan konteks dan situasi tutur pada saat dia sedang berbicara. Namun, harus diakui secara jujur, keterampilan berbicara di kalangan siswa SMP, khususnya keterampilan berbicara, belum seperti yang diharapkan. Kondisi ini tidak lepas dari proses pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah yang dinilai telah gagal dalam membantu siswa terampil berpikir dan berbahasa sekaligus. Yang lebih memprihatinkan, ada pihak yang sangat ekstrim berani mengatakan bahwa tidak ada mata pelajaran Bahasa Indonesia pun siswa dapat berbahasa Indonesia seperti saat ini, asalkan mereka diajari berbicara, membaca, dan menulis oleh guru (Depdiknas 2004:9). Sementara itu, hasil observasi empirik di lapangan juga menunjukkan fenomena yang hampir sama. Keterampilan berbicara siswa SMP berada pada tingkat yang rendah; diksi (pilihan kata)-nya payah, kalimatnya tidak efektif, struktur tuturannya rancu, alur tuturannya pun tidak runtut dan kohesif. Indikator yang digunakan untuk mengukur keterampilan siswa dalam berbicara, di antaranya kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata. Paling tidak, ada dua faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat keterampilan siswa dalam berbicara, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Yang termasuk faktor eksternal, di antaranya pengaruh penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan keluarga dan masyarakat. Dalam proses komunikasi sehari-hari, banyak keluarga yang menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah) sebagai bahasa percakapan di lingkungan keluarga. Demikian juga halnya dengan penggunaan bahasa Indonesia di tengah-tengah masyarakat. Rata-rata bahasa ibulah yang digunakan sebagai sarana komunikasi. Kalau ada tokoh masyarakat yang menggunakan bahasa Indonesia, pada umumnya belum memperhatikan kaidah-kaidah berbahasa secara baik dan benar. Akibatnya, siswa tidak terbiasa untuk berbahasa Indonesia sesuai dengan konteks dan situasi tutur. Dari faktor internal, pendekatan pembelajaran, metode, media, atau sumber pembelajaran yang digunakan oleh guru memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap tingkat keterampilan berbicara bagi siswa SMP. Pada umumnya, guru bahasa Indonesia cenderung menggunakan pendekatan yang konvensional dan miskin inovasi sehingga kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara berlangsung monoton dan membosankan. Para peserta tidak diajak untuk belajar berbahasa, tetapi cenderung diajak belajar tentang bahasa. Artinya, apa yang disajikan oleh guru di kelas bukan bagaimana siswa berbicara sesuai konteks dan situasi tutur, melainkan diajak untuk mempelajari teori tentang berbicara. Akibatnya, keterampilan berbicara hanya sekadar melekat pada diri siswa sebagai sesuatu yang rasional dan kognitif belaka, belum manunggal secara emosional dan afektif. Ini artinya, rendahnya keterampilan berbicara bisa menjadi hambatan serius bagi siswa untuk menjadi siswa yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya. Dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa pengajaran bahasa Indonesia telah menyimpang jauh dari misi sebenarnya. Guru lebih banyak berbicara tentang bahasa (talk about the language) daripada melatih menggunakan bahasa (using language). Dengan kata lain, yang ditekankan adalah penguasaan tentang bahasa (form-focus). Guru bahasa Indonesia lebih banyak berkutat dengan pengajaran tata bahasa, dibandingkan mengajarkan kemampuan berbahasa Indonesia secara nyata (Nurhadi, 2000). Jika kondisi pembelajaran semacam itu dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin keterampilan berbicara di kalangan siswa SMP akan terus berada pada aras yang rendah. Para siswa akan terus-menerus mengalami kesulitan dalam mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara lancar, memilih kata (diksi) yang tepat, menyusun struktur kalimat yang efektif, membangun pola penalaran yang masuk akal, dan menjalin kontak mata dengan pihak lain secara komunikatif dan interaktif pada saat berbicara. Dalam konteks demikian, diperlukan pendekatan pembelajaran keterampilan berbicara yang inovatif dan kreatif, sehingga proses pembelajaran bisa berlangsung aktif, efektif, dan menyenangkan. Siswa tidak hanya diajak untuk belajar tentang bahasa secara rasional dan kognitif, tetapi juga diajak untuk belajar dan berlatih dalam konteks dan situasi tutur yang sesungguhnya dalam suasana yang dialogis, interaktif, menarik, dan menyenangkan. Dengan cara demikian, siswa tidak akan terpasung dalam suasana pembelajaran yang kaku, monoton, dan membosankan. Pembelajaran keterampilan berbicara pun menjadi sajian materi yang selalu dirindukan dan dinantikan oleh siswa. Penelitian ini akan difokuskan pada upaya untuk mengatasi faktor internal yang diduga menjadi penyebab rendahnya tingkat kemampuan siswa klas VII-A SMPN 2 Poco Ranaka, Manggarai Timur NTT, dalam berbicara, yaitu kurangnya inovasi dan kreativitas guru dalam menggunakan pendekatan pembelajaran sehingga kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara berlangsung monoton dan membosankan. Salah satu pendekatan pembelajaran yang diduga mampu mewujudkan situasi pembelajaran yang kondusif; aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan adalah pendekatan pragmatik. Melalui pendekatan pragmatik, siswa diajak untuk berbicara dalam konteks dan situasi tutur yang nyata dengan menerapkan prinsip pemakaian bahasa secara komprehensif. Dalam pendekatan pragmatik, guru berusaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan berbahasa di dalam konteks nyata dan situasi yang kompleks. Guru juga memberikan pengalaman kepada siswa melalui pembelajaran terpadu dengan menggunakan proses yang saling berkaitan dalam situasi dan konteks komunikasi alamiah. Prinsip-prinsip pemakaian bahasa yang diterapkan dalam pendekatan pragmatik, yaitu (1) penggunaan bahasa dengan memperhatikan aneka aspek situasi ujaran; (2) penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesantunan; (3) penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kerja sama; dan (4) penggunaan bahasa dengan memperhatikan faktor-faktor penentu tindak komunikatif. Melalui prinsip-prinsip pemakaian bahasa semacam itu, pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara diharapkan mampu membawa siswa ke dalam situasi dan konteks berbahasa yang sesungguhnya sehingga keterampilan berbicara mampu melekat pada diri siswa sebagai sesuatu yang rasional, kognitif, emosional, dan afektif. Melalui penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara, para siswa SMP akan mampu menumbuhkembangkan potensi intelektual, sosial, dan emosional yang ada dalam dirinya, sehingga kelak mereka mampu berkomunikasi dan berinteraksi sosial secara matang, arif, dan dewasa. Selain itu, mereka juga akan terlatih untuk mengemukakan gagasan dan perasaan secara cerdas dan kreatif, serta mampu menemukan dan menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya dalam menghadapi berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Yang tidak kalah penting, para siswa juga akan mampu berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis, mampu menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, serta mampu memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan.

Minggu, 21 Oktober 2012

Interferensi Bahasa Daerah: Sosiolinguistik


Interferensi Bahasa Daerah di NTT Dalam Penggunaan Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif Terhadap Mahasiswa Asal NTT di Yogyakarta)


 LATAR BELAKANG MASALAH
Sarana komunikasi yang paling penting pada masyarakat adalah bahasa. Oleh karena kedudukannya yang sangat penting, maka membuat bahasa tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia dan selalu ada dalam setiap aktivitas dan kehidupannya. Pemakaian bahasa dalam komunikasi selain ditentukan oleh faktor-faktor Linguistik juga ditentukan oleh faktor-faktor nonlinguistik atau luar bahasa, antara lain faktor sosial yang merupakan faktor yang berpengaruh dalam penggunaan bahasa. Pandangan demikian memang cukup beralasan karena pada dasarnya bahasa adalah bagian dari suatu sistem sosial.
Kajian tentang bahasa yang dihubungkan dengan faktor sosial merupakan suatu kajian yang sangat menarik. Perkembangan penelitian tentang Sosiolinguistik tersebut sangat meningkat pada akhir tahun 1960-an. Hal ini disebabkan oleh luasnya objek penelitian yang menarik dan dapat terus dikaji (Hudson, 1996:1-2). Hudson menyatakan bahwa Sosiolinguistik mencakupi bidang kajian yang sangat luas, tidak hanya menyangkut wujud formal bahasa dan variasinya, namun juga penggunaan bahasa di masyarakat. Penggunaan bahasa tersebut mencakupi faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan, misalnya faktor hubungan antara penutur dan mitra tuturnya.
Pendapat Hudson di atas didukung oleh Gunarwan (2001a:55-56) yang menyatakan bahwa masyarakat tidak bersifat monolitik, ia terdiri atas kelompok-kelompok sosial yang masing-masing terbentuk oleh kesamaan fitur. Atas dasar ini Sosiolinguistik juga memandang suatu bahasa itu terdiri atas ragam-ragam yang terbentuk oleh kelompok-kelompok sosial yang ada. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pada tiap kelompok masyarakat terdapat nilai-nilai sosial dan budaya yang khusus pada penggunaan bahasa mereka yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya.
Dalam masyarakat tutur, bahasa mempunyai ragam atau variasi yang digunakan oleh masyarakat penuturnya. Dengan latar belakang sosial, budaya, dan situasi, masyarakat tutur dapat menentukan penggunaan bahasanya. Dalam pandangan Sosiolinguistik, situasi kebahasaan pada masyarakat bilingual (dwibahasa) ataupun multilingual (multibahasa) sangat menarik untuk diteliti. Dengan adanya beberapa bahasa dalam interaksi verbal, serta perkembangan bahasa pada masyarakat membuat penelitian pada bidang ini selalu menarik untuk terus diteliti.
Menurut Fishman (1972) pemilihan penggunaan bahasa oleh penutur tidak terjadi secara acak, melainkan harus mempertimbangkan beberapa faktor, antara lain siapa yang berbicara, siapa lawan bicaranya, topik apa yang sedang dibicarakan, dan di mana peristiwa tutur itu terjadi. Dell Hymes menggolongkan faktor-faktor yang melatarbelakangi suatu peristiwa tutur dalam komponen-komponen tutur. Komponenkomponen tersebut disusun sedemikian rupa sehingga huruf awal tiap-tiap komponen tersebut dapat membentuk singkatan yang mudah diingat, yaitu SPEAKING yang terdiri atas Setting and Scene (latar), Participants (peserta), Ends (hasil), Act Sequence (amanat), Key (cara), Instrumentalities (sarana), Norms (norma), dan Genres (jenis). Hal-hal yang dikemukakan oleh Hymes mengenai aturan sosial berbahasa sebenarnya tidak hanya menyangkut masalah kesepakatan dalam pemakaian bahasa saja, tetapi juga mencakup fungsi bahasa (Suhardi dan Sembiring, 2005:53).
Komunikasi merupakan suatu kegiatan sosial (Kongres Bahasa, 1978:276). Dalam kegiatan ini dikirim dan diterima lambang-lambang yang mengandung arti. Pemberian arti perlu “sama” agar pengirim lambang (komunikator) dan penerima lambang (komunikan) mengerti satu sama lain sehingga kegiatan komunikasi dapat berjalan dengan baik. Komunikasi dapat melibatkan beberapa aspek. Alwasilah (1989:8) menyatakan “komunikasi sebagai suatu proses melibatkan (1) pihak yang berkomunikasi, (2) informasi yang dikomunikasikan, (3) alat komunikasi”. Tidak ada komunikasi yang tidak melibatkan ketiga aspek di atas dan sesungguhnya manusia tidak akan terlepas dari ketiga aspek tersebut. Dalam proses komunikasi digunakan bahasa sebagai pengantar.
Bahasa adalah salah satu ciri paling khas yang manusiawi yang membedakannya dari mahluk-mahluk lain (Nababan, 1984:1). Secara tradisional bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau juga perasaan (Chaer dan Agustina, 1995:19). Jadi, fungsi bahasa yang paling mendasar adalah sebagai alat komunikasi, yakni sebagai alat pergaulan antarsesama dan alat untuk menyampaikan pikiran.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bilingual atau dwibahasa, yaitu masyarakat yang menggunakan dua bahasa dalam berkomunikasi. Dalam proses komunikasi masyarakat Indonesia menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional selain bahasa daerah masing-masing. Kedua bahasa tersebut kadang digunakan dalam kehidupan sehari-hari secara bersamaan, baik secara lisan maupun tulis. Situasi semacam ini memungkinkan terjadinya kontak bahasa yang saling mempengaruhi. Saling pengaruh itu dapat dilihat pada pemakaian bahasa Indonesia yang disisipi oleh kosa kata bahasa daerah atau sebaliknya yang mencakup semua tataran. Hal ini pun juga terjadi dalam kegiatan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat NTT.
Masyarakat NTT tergolong dwibahasaan karena dalam kegiatan komunikasi harian, mereka menggunakan dua bahasa sekaligus yaitu bahasa daerah (B1) dan bahasa Indonesia (B2). Dengan adanya kondisi seperti ini, mempengaruhi mereka dalam berbicara pada saat menggunakan satu bahasa. Sengaja atau tidak, sering terjadi kesalahan dalam menggunakan bahasa tertentu karena kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian dalam kehidupan sehari-hari.
Terjadinya kontak bahasa yang merupakan gejala awal interferensi. Suwito (1983:26-27) menyatakan “Adanya penyimpangan-penyimpangan bukan berarti pengrusakan terhadap bahasa”. Interferensi merupakan fenomena penyimpangan kaidah kebahasaan yang terjadi akibat seseorang menguasai dua bahasa atau lebih. Suwito (1983:54) berpendapat bahwa Interferensi sebagai penyimpangan karena unsur yang diserap oleh sebuah bahasa sudah ada padanannya dalam bahasa penyerap. Jadi, manifestasi penyebab terjadinya interferensi adalah kemampuan penutur dalam menggunakan bahasa tertentu.
Dari segi kebahasaan, interferensi dapat dibagi menjadi dua, yaitu interferensi bentuk dan interferensi arti. Menurut Soepomo (1982:27) ,Interferensi bentuk meliputi unsur bahasa dan variasi bahasa, sedangkan interferensi bahasa meliputi interferensi leksikal, morfologi, dan sintaksis. Interferensi menurut Nababan (1984), merupakan kekeliruan yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa daerah atau dialek kedalam bahasa atau dialek kedua. Senada dengan itu, Chaer dan Agustin (1995:168) mengemukakan bahwa interferensi adalah peristiwa penyimpangan norma dari salah satu bahasa ke bahasa yang lain.
Sejalan dengan pemikiran diatas, penulis akan mencoba membahas interferensi bahasa daerah di NTT dalam bahasa Indonesia yang digunakan oleh mahasiswa asal NTT di Yogyakarta. Pembahasan ini akan mencakup semua tataran interferensi bahasa yang meliputi leksikal, morfologi, dan sintaksis.
Ada beberapa alasan yang mendorong penulis tertarik untuk meneliti interferensi bahasa daerah di NTT dalam penggunaan bahasa Indonesia, khususnya penggunaan bahasa Indonesia oleh mahasiswa asal NTT di Yogyakarta. Pertama, penggunaan bahasa Indonesia yang terpengaruh bahasa daerah di kalangan mahasiswa asal NTT tidak hanya berlangsung dalam situasi informal tetapi juga dalam situasi formal.
Kedua, ungkapan gunakanlah bahasa Indonesia yang baik dan benar telah menjadi slogan yang memasyarakat, sepertinya harus diterapkan oleh kaum akademik dalam hal ini mahasiswa khususnya penggunaan bahasa Indonesia oleh mahasiswa asal NTT.
Ketiga, adanya kesalahan pemahaman atau persepsi ketika terjadi proses komunikasi antara mahasiswa asal NTT (penutur) dengan mahasiswa luar  (tindak tutur), yang disebabkan karena bahasa yang digunakan oleh penutur terlalu berbelit-belit.
Keempat, bahasa Indonesia dialek daerah bagi kalangan kaum pelajar di NTT dipandang sebagai bahasa yang memiliki tingkat prestise yang tinggi. Sehingga, dalam kegiatan komunikasi ragam daerah ini lebih banyak digunakan daripada bahasa Indonesia yang baku.

IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas dapat diidentifikasi beberapa permasalahan, yaitu sebagai berikut.
1.      Bentuk-bentuk interferensi bahasa daerah di NTT ke dalam bahasa Indonesia.
2.      Faktor-faktor penyebab terjadinya interferensi bahasa daerah di NTT ke dalam bahasa Indonesia.
3.      Masyarakat tutur.
4.      Faktor kedwibahasaan.
5.      Pengaruh interferensi bahasa daerah di NTT dalam penggunaan bahasa Indonesia.

 BATASAN MASALAH
Permasalahan-permasalahan di atas tentu tidak akan dibahas seluruhnya. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan agar pembahasan dalam penelitian ini lebih mendalam dan mengenai sasaran. Untuk itu, permasalahan yang akan diteliti terbatas pada hal-hal berikut ini.
  1. Bentuk-bentuk interferensi bahasa daerah di NTT kedalam bahasa Indonesia.
  2. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya interferensi bahasa daerah di NTT ke  dalam bahasa Indonesia.
  3. Pengaruh interferensi bahasa daerah di NTT terhadap penggunaan bahasa Indonesia.

RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
1.   Apa sajakah bentuk-bentuk interferensi bahasa daerah di NTT  kedalam bahasa Indonesia?
2.   Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya interferensi bahasa daerah di NTT kedalam bahasa Indonesia?
3.   Apa pengaruh interferensi bahasa daerah di NTT terhadap penggunaan bahasa Indonesia?


TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
  1.  Mendeskripsikan bentuk-bentuk interferensi bahasa daerah di NTT kedalam bahasa Indonesia.
  2. Mendeskripsikan faktor-faktor penyebab terjadinya interferensi bahasa daerah di NTT kedalam bahasa Indonesia.
  3. Mendeskripsikan pengaruh interferensi bahasa daerah di NTT terhadap penggunaan bahasa Indonesia.

MANFAAT PENELITIAN
 Manfaat penelitian yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah manfaat teoretis dan manfaat praktis.

1.  Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis yang diharapkan adalah dapat menjadi referensi awal mengenai penelitian bidang linguistik lainnya, khususnya kajian sosiolinguistik. Selain itu, hal ini dapat memperkaya pengetahuan kebahasaan, khususnya mengenai interferensi bahasa, dalam hal ini interferensi bahasa daerah kedalam bahasa Indonesia.

2.  Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang dapat diharapkan dari penelitian ini adalah menjadi referensi bagi mahasiswa, khususnya dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

I.       LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA
1.      Landasan Teori
   Manusia merupakan makhluk sosial. Manusia melakukan interaksi, bekerja sama, dan menjalin kontak sosial di dalam masyarakat. Dalam hal ini, manusia membutuhkan sebuah alat komunikasi, yaitu bahasa. Bahasa memungkinkan manusia untuk membentuk kelompok sosial sebagai pemenuhan kebutuhannya untuk hidup bersama. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiolinguistik karena objek penelitiannya berupa bahasa yang berkaitan dengan penggunaan bahasa itu dalam masyarakat. Hal tersebut memungkinkan karena sosiolinguistik merupakan ilmu interdisipliner yang mempelajari bahasa dalam kaitannya bahasa itu dalam masyarakat (Chaer dan Leonie, 1995:2).
Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin, yaitu melibatkan dua disiplin ilmu sosiologi dan linguistik. Jadi, sosiolinguistik tidak lain merupakan ilmu yang bersifat interdisipliner. Kebutuhan akan hadirnya sosiolinguistik semakin terasa apabila kita menghadapi berbagai masalah kebahasaan yang ternyata tidak cukup hanya diselesaikan dengan pendekatan linguistik. Akan tetapi, diperlukan pendekatan nonlinguistik, khususnya disiplin ilmu sosiologi (Suwito, 1982: i).
     Ilmu yang bersifat interdisipliner merupakan ilmu yang melibatkan dua cabang disiplin ilmu untuk menghadapi berbagai persoalan yang ada di dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, jelas dikatakan bahwa sosiolinguistik terdiri atas dua unsur, yaitu sosiologi dan linguistik. Linguistik adalah ilmu yang mempelajari atau membicarakan bahasa, khususnya unsur-unsur bahasa, yaitu fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, serta hubungan antarunsur-unsur itu (struktur). Sosiologi adalah ilmu yang berkaitan dengan ilmu sosial, yaitu berhubungan dengan masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, dan fungsi-fungsi masyarakat. Jadi, sosiolingustik ialah studi atau pembahasan mengenai bahasa yang berhubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat (Nababan, 1991: 2).

a.    Masyarakat Tutur
Sesuai dengan namanya, kajian dalam Sosiolinguistik adalah pemakaian bahasa dalam masyarakat. Secara luas, istilah Masyarakat Tutur (Speech Comunity) atau bisa juga disebut dengan Masyarakat Bahasa (Linguistic Comunity) digunakan oleh para linguis untuk mengacu pada komunitas yang didasarkan pada bahasa (Hudson, 1996:24).
Sebenarnya terdapat banyak definisi yang menjelaskan mengenai istilah masyarakat tutur. Istilah yang paling sederhana untuk menjelaskan masyarakat
tutur adalah yang dikemukakan oleh Lyons (dalam Hudson, 1996:24) yang menyatakan bahwa “masyarakat tutur adalah setiap orang yang menggunakan
bahasa tertentu (dialek)”. Definisi ini mirip dengan definisi yang diberikan oleh Bloomfield (1933, diindonesiakan oleh Sutikno, 1995:40) dalam bukunya yang berjudul “Language”. Ia memperkenalkan istilah masyarakat bahasa dengan definisi suatu kelompok orang yang menggunakan sistem tanda wicara yang sama dalam berinteraksi.
Halliday (1968, dalam Suhardi dan Sembiring, 2005:54) menyatakan bahwa sekelompok orang yang merasa atau menganggap diri mereka memakai bahasa yang sama disebut sebagai masyarakat bahasa. Frasa merasa atau menganggap pada definisi di atas perlu digarisbawahi karena pada kenyataan sehari-hari dua bahasa yang sama baik dalam tata bunyi, tata bahasa, dan leksikon yang mengandung banyak kemiripan dapat disebut dua masyarakat bahasa yang berbeda karena masyarakat tutur tersebut menganggap dua bahasa tersebut berbeda. Sebagai contoh, secara linguistis bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia mempunyai tata bunyi, tata bahasa, dan lesikon yang mengandung banyak kemiripan, namun karena masyarakat bahasa pemakai bahasa tersebut menganggapnya sebagai dua bahasa yang berbeda, maka masyarakat bahasa penutur bahasa Indonesia dan masyarakat bahasa penutur bahasa Malaysia tidak dapat disebut satu masyarakat tutur yang sama.
Dari beberapa definisi tersebut, pendapat yang diungkapkan oleh Fishman (1976:28) dirasa dapat merangkum semua pendapat yang telah diuraikan sebelumnya. Fishman mengatakan bahwa masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya.

b.   Kedwibahasaan (Bilingualisme)
Penelitian Sosiolinguistik yang mengkaji masalah kode bahasa tentu sangat erat kaitannya dengan kedwibahasaan. Batasan konsep kedwibahasaan itu sendiri selalu mengalami perubahan. Istilah ini kali pertama diperkenalkan pada abad ke-20 oleh Bloomfield dalam bukunya Language (1933, diindonesiakan oleh Sutikno, 1995:54) yang mengartikan kedwibahasan sebagai penguasaan dua bahasa seperti penutur asli. Definisi yang diberikan oleh Bloomfield ini mengimplikasikan pengertian bahwa seorang dwibahasawan adalah orang yang menguasai dua bahasa dengan sama baiknya. Definisi yang diberikan oleh Bloomfield tersebut dirasa sangat berat karena dapat diartikan bahwa seseorang baru bisa dikatakan seorang dwibahawan jika bahasa kedua yang dikuasainya sama baiknya dengan bahasa pertama.
Definisi selanjutnya diberikan oleh Einar Haugen (1966, dalam Suhardi dan Sembiring, 2005:58) yang mengartikannya sebagai kemampuan memberikan tuturan yang lengkap dan bermakna dalam bahasa lain. Definisi ini merupakan definisi yang lebih sempit batasannya dibandingkan dengan definisi yang diajukan oleh Bloomfield karena adanya batasan yang diberikan, yakni hanya orang yang mampu bertutur secara lengkap dan bermakna saja yang dapat disebut sebagai dwibahasawan. Selanjutnya, W.F. Mackey (1972:554) menggambarkan kedwibahasaan sebagai penggunaan bahasa secara bergantian dua bahasa atau lebih oleh seseorang yang sama. Kondisi dan situasi yang dihadapi seorang dwibahasawan turut menentukan pergantian bahasa-bahasa yang dipakai.
Dari tiga pengertian di atas, konsep kedwibahasaan telah mengalami penyederhanaan dan perlunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Istiati. S (1985:10) yang menyatakan bahwa konsep kedwibahasaan setiap waktu semakin diperlunak. Walaupun mengalami penyederhanaan dan perlunakan konsep, namun tentu saja definisi tersebut tidak terlepas dari batasan-batasan kedwibahasaan.

c.       Interferensi
Hubungan yang terjadi antara kedwibahasaan dan interferensi sangat erat terjadi. Hal ini dapat dilihat pada kenyataan pemakaian bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Situasi kebahasaan masyarakat tutur bahasa Indonesia sekurang-kurangnya ditandai dengan pemakaian dua bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Situasi pemakaian seperti inilah yang dapat memunculkan percampuran antara bahasa nasional dan bahasa Indonesia. Bahasa ibu yang dikuasai pertama, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pemakaian bahasa kedua, dan sebaliknya bahasa kedua juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap pemakaian bahasa pertama. Kebiasaan untuk memakai kedua bahasa lebih secara bergantian disebut kedwibahasaan. Peristiwa semacam ini dapat menimbulkan interferensi.
Interferensi secara umum dapat diartikan sebagai percampuran dalam bidang bahasa. Percampuran yang dimaksud adalah percampuran dua bahasa atau saling pengaruh antara kedua bahasa. Hal ini dikemukakan oleh Poerwadarminto dalam Pramudya (2006:27) yang menyatakan bahwa interferensi berasal dari bahasa Inggris interference yang berarti percampuran, pelanggaran, rintangan.
Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1968:1) untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Penutur yang bilingual adalah penutur yang menggunakan dua bahasa secara bergantian, sedangkan penutur multilingual merupakan penutur yang dapat menggunakan banyak bahasa secara bergantian. Peristiwa interferensi terjadi pada tuturan dwibahasawan sebagai kemampuannya dalam berbahasa lain.
Weinreich (1968:1) juga mengatakan bahwa interferensi adalah bentuk penyimpangan penggunaan bahasa dari norma-norma yang ada sebagai akibat adanya kontak bahasa karena penutur mengenal lebih dari satu bahasa. Interferensi berupa penggunaan bahasa yang satu dalam bahasa yang lain pada saat berbicara atau menulis. Didalam proses interferensi, kaidah pemakaian bahasa mengalami penyimpangan karena adanya pengaruh dari bahasa lain. Pengambilan unsur yang terkecil pun dari bahasa pertama ke dalam bahasa kedua dapat menimbulkan interferensi.
Poedjosoedarmo (1989:53) menyatakan bahwa interferensi dapat terjadi pada segala tingkat kebahasaan, seperti cara mengungkapkan kata dan kalimat, cara membentuk kata dan ungkapan, cara memberikan kata-kata tertentu, dengan kata lain inteferensi adalah pengaturan kembali pola-pola yang disebabkan oleh masuknya eleman-elemen asing dalam bahasa yang berstruktur lebih tinggi, seperti dalam fonemis, sebagian besar morfologis dan sintaksis, serta beberapa perbendaharaan kata (leksikal).
Dalam proses interferensi, terdapat tiga unsur yang mengambil peranan, yaitu: Bahasa sumber atau bahasa donor, bahasa penyerap atau bahasa resipien, dan unsur serapan atau importasi.  Dalam peristiwa kontak bahasa, mungkin sekali pada suatu peristiwa, suatu bahasa menjadi bahasa donor, sedangkan pada peristiwa yang lain bahasa tersebut menjadi bahasa resipien. Saling serap adalah peristiwa umum dalam kontak bahasa.
Hortman dan Stork melalui Alwasilah (1985:131) menganggap interferensi sebagai kekeliruan yang disebabkan terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa atau dialek bahasa ibu ke dalam bahasa atau dialek kedua. Maksud interferensi merupakan kekeliruan yng disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain, mencakup pengucapan satuan bunyi, tata bahasa, dan kosakata.
Jadi berdasarkan pendapat-pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa.
a)      Interferensi merupakan gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain.
b)      Interferensi merupakan penerapan dua buah sistem secara serempak kepada suatu unsur bahasa.
c)      Interferensi merupakan gejala penyimpangan bahasa yang terjadi sebagai akibat dari gejala tutur (speech parole).
d)     Interferensi merupakan suatu penggunaan unsur-unsur dari satu bahasa ke bahasa yang lain baik secara lisan atau tertulis.
  Interferensi yang terjadi antara bahasa daerah yang ada di NTT dalam pemakaian bahasa Indonesia disebabkan adanya pertemuan atau persentuhan antara dua bahasa tersebut. Interferensi ini bisa terjadi pada lafal, pembentukan kata, pembentukan kalimat, dan kosakata.


d.      Bentuk-bentuk Interferensi
Suwito (1983:55) mengemukakan bahwa interferensi dapat terjadi dalam semua komponen kebahasaan, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, leksikal (kosakata).
Jendra (1991:108)  membedakan interferensi menjadi lima aspek kebahasaan, sebagai berikut.
a)      Interferensi pada bidang sistem tata bunyi (fonologi)
b)      Interferensi pada tata bentukan kata (morfologi)
c)      Interferensi pada tata kalimat (sintaksis)
d)     Interferensi pada kosakata (leksikal)
e)      Interferensi pada bidang tata makna (semantik)
Chaer dan Agustin (2004:162-165) mengidentifikasi interferensi berdasarkan bentuknya, yaitu:
a)      Interferensi fonologi terjadi apabila penutur mengungkapkan kata-kata dari suatu bahasa dengan menyisipkan bunyi-bunyi  bahasa dari bahasa lain. Interferensi fonologis dibedakan menjadi dua macam, yaitu interferensi fonologis pengurangan huruf dan interferensi fonologis pergantian huruf.
Contoh: B1                                      B2
Slalu                                  selalu
Smua                                 semua
Rame                                 ramai


b)      Interferensi morfologis
Interferensi morfologis terjadi apabila dalam pembentukan katanya suatu bahasa menyerap afiks-afiks bahasa lain. Penyimpangan struktur itu terjadi karena kontak bahasa anatara bahasa yang diucapkan (B1) dengan bahasa lain yang dikuasainya (B2).
Contoh:  B1                                     B2
Tapukul                             terpukul
Batariak                             berteriak
c)Interferensi sintaksis
Interferensi sintaksis terjadi apabila struktur bahasa lain (B2) digunakan dalam pembentukan bahasa yang sedang digunakan (B1). Penyerapan unsur kalimatnya dapat berupa kata, frase, dan klausa.
Contoh:  Mereka akan kaweng bulan depan.
Karena saya sudah basudara deng dia, saya pasti merasakan kesedihannya.
d)     Interferensi semantis
Interferensi semantis terjadi dalam bidang tata makna. Menurut bahasa resipiennya, interferensi semantis dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu interferensi ekspansif dan interferensi aditif.
·            Interferensi ekspansif, yaitu interferensi yang terjadi apabila bahasa yang tersisipi (B1) menyerap konsep kultural beserta namanya dari bahasa lain (B2).
Contoh: Teman-temanku tambah gokil saja.
·            Interferensi aditif, yaitu interferensi yang muncul dengan penyesuaian dan interferensi yang muncul berdampingan dengan bentuk lama dengan makna yang agak khusus.
Contoh: mbak Ari cantik sekali.

  1. Kajian Pustaka
Penelitian tentang interferensi sangat penting, terbukti dikenal beberapa peneliti yang mulai menulis sejak tahun 1950 seperti Weinreich, Haugen, Ferguson, Mackey, Lado, dan Richard. Di Indonesia, penelitian tentang interferensi bahasa saat ini sudah banyak dilakukan, baik oleh mahasiswa ataupun juga oleh dosen serta beberapa penulis. Diantaranya, judul karya ilmiah yang di tulis oleh dosen Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara ( FS USU) Drs. Irwan (2006) yang berjudul “Interferensi Bahasa Derah Terhadap Perkembangan Bahasa Indonesia”.
Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang Avid Setiyowati (2008) berupa skripsi yang berjudul “Interferensi Morfologi dan Sintaksis Bahasa Jawa dalam Bahasa Indonesia pada Kolom Piye ya? Harian Suara Merdeka”. Penelitian ini lebih ditekankan pada interferensi yang terjadi pada tataran morfologi dan sintaksis bahasa Jawa.
Penelitian lain tentang interferensi juga pernah dilakukan di Universitas Muhammadiyah Makassar oleh Nuraeni (2003) dalam skripsinya yang berjudul “Interferensi Bahasa Bugis Terhadap Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Berkomunikasi oleh Siswa SLTP Negeri 4 Kahu Kabupaten Bone”. Adapun penelitian ini mengkaji tentang penggunaan bahasa Indonesia yang mendapat pengaruh dari bahasa daerah dalam kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh siswa SMP.
Dari penelitian-penelitian diatas, peneliti terinspirasi untuk meneliti interferensi bahasa daerah di NTT dalam penggunaan bahasa Indonesia yang sejauh ini sepengetahuan penulis masih jarang diteliti. Penelitian ini lebih ditekankan pada penggunaan bahasa Indonesia oleh mahasiswa asal NTT di Yogyakarta yang mengalami interferensi oleh bahasa daerah.

J.       METODOLOGI PENELITIAN
1.   Jenis Penelitian
             Penelitian tentang interferensi bahasa ini berkaitan dengan hal-hal, khususnya fenomena kebahasaan yang bersifat natural. Artinya, data yang dikumpulkan berasal dari lingkungan yang nyata dan dan apa adanya, yaitu tentang bentuk dan jenis interferensi bahasa. Di samping itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Hal ini disebabkan data yang terkumpul, dianalisis, serta dipaparkan secara deskriptif.
             Metode penelitian deskriptif memang berbeda dengan metode-metode lainnya, seperti metode preskriptif atau yang lainnya. Metode penelitian deskriptif memiliki beberapa ciri, yaitu (1) tidak mempermasalahkan benar atau salah objek yang dikaji, (2) penekanan pada gejala aktual atau pada yang terjadi pada saat penelitian dilakukan, dan (3) biasanya tidak diarahkan untuk menguji hipotesis.
             Penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji suatu hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel, gejala atau keadaan. Dalam penelitian ini data yang terkumpul berupa kata-kata dan bukan dalam bentuk angka. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memiliki ciri-ciri, yaitu (1) penyajian hasil penelitian ini berupa penjabaran tentang objek, (2) pengumpulan data dengan latar alamiah, dan (3) peneliti menjadi instrumen utama.

2.      Data dan Sumber Data
Data merupakan hasil pencatatan penelitian, baik berupa fakta-fakta maupun angka. Data adalah segala fakta dan angka yang dapat dijadikan bahan untuk menyusun suatu informasi, sedangkan informasi adalah hasil pengolahan data yang dipakai untuk suatu keperluan.
Data penelitian ini berupa kata atau kalimat berbahasa Indonesia yang mengandungt interferensi bahasa daerah di NTT. Dalam hal ini, bahasa Indonesia yang sering digunakan oleh kalangan mahasiswa asal NTT. Di samping itu, sumber data penelitian tentang interferensi bahasa ini berasal dari buku, skripsi, dan karya ilmiah. Buku-buku tersebut antara lain: (1) Kamus Umum Bahasa Indonesia, (2) Sosiolinguistik Umum karangan Abdul Chaer, (3) Sosiologi Bahasa karangan Alwasilah, (4) Sosiolinguistik Suatu Pengantar karangan Abdul Chaer dan Leonie Agustina, dan (5) Sosiolinguistik karangan Sumarsono.
Sumber data penelitian ini berasal dari skripsi yang berhubungan dengan kajian mengenai interferensi bahasa “Interferensi Bahasa Bugis Terhadap Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Berkomunikasi oleh Siswa SLTP Negeri 4 Kahu Kabupaten Bone”,disusun oleh Nuraeni. Di samping itu, sumber data penelitian ini pun berasal dari karya ilmiah yang berjudul “Interferensi Bahasa Derah Terhadap Perkembangan Bahasa Indonesia”, disusun oleh Irwan. Hasil kajiannnya berupa kajian tentang interferensi B1 terhadap B2. 

3.      Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan alat pelengkap yang digunakan untuk menunjang proses penelitian dengan menggunakan data sebagai bahannya. Dalam penelitian kualitatif peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data yang utama (Moleong, 1989: 5). Dalam penelitian ini yang dijadikan instrumen adalah peneliti atau penulis sendiri sebagai alat atau instrumennya. Penulis melakukan serangkaian kegiatan dari perencanaan, pengumpulan data, dan analisis data sampai pada tahap hasil penelitian.
Dalam melakukan observasi dan melakukan pencatatan digunakan kartu data. Hal ini dimaksudkan agar peneliti atau penulis lebih mudah dalam menganalisis penggunaan bahasa Indonesia yang mendapat pengaruh dari bahasa daerah. Kartu data akan sangat membantu penelitian. Penggunaan kartu data berarti menjaring data dengan teknik catat. Data yang dijaring dari sumber lisan dapat langsung dicatat pada kartu data. Kartu data yang digunakan untuk mencatat dapat berupa kertas HVS, manila, bufalo, atau yang lainnya dengan ukuran yang sesuai (Kesuma, 2007: 45).
Sesuai dengan ketentuan di atas penelitian ini menggunakan kartu data dalam penjaringan datanya. Kartu data yang digunakan ialah kertas kuarto (A4) yang berukuran 80 gram. Dipilihnya jenis kertas ini karena lebih praktis dan mudah dibawa.

4.      Metode dan Teknik Penyediaan Data
             Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak. Metode simak atau metode observasi ialah metode yang dilakukan dengan menyimak (menyadap) penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang (Kesuma, 2007:43).
             Dalam metode penyediaan data digunakan teknik, yaitu teknik simak bebas libat cakap dan teknik catat. Teknik simak bebas libat cakap dapat dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa tanpa ikut berpartisipasi dalam proses pembicaraan (Kesuma, 2007:44). Dalam hal ini, teknik penyediaan data berbentuk tulisan, yaitu sumber data yang berupa buku-buku, makalah, dan karya ilmiah tentang interferensi bahasa.
             Dalam penelitian ini juga digunakan teknik catat. Teknik catat adalah teknik menjaring data dengan mencatat hasil penyimakan pada suatu data tertentu (Kesuma, 2007 : 44-46). Teknik catat ini ditujukan untuk mengamati fenomena-fenomena kebahasaan yang terjadi dalam suatu kelompok masyarakat atau komunitas, yaitu penggunaan bahasa Indonesia yang mendapat pengaruh dari bahasa daerah.  Di samping itu, data-data yang diperoleh secara wajar dan alami.

5.      Metode dan Teknik Analisis Data
             Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode agih. Istilah lain untuk metode agih adalah metode distribusional (Sudaryanto, 1985). Metode agih ialah metode analisis yang alat penentunya ada di dalam merupakan bagian dari bahasa yang diteliti (Sudaryanto, 1985; 1993:15).                                     Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik ganti dan teknik perluas. Teknik ganti, yang biasa disebut pula dengan istilah teknik distribusi (Verhaar, 1981:108). Teknik ganti adalah teknik analisis data dengan cara mengganti satuan kebahasaan tertentu di dalam suatu konstruksi dengan satuan kebahasaan yang lain di luar konstruksi yang bersangkutan (Kesuma, 2007 : 58-59). Dengan kata lain, teknik ini dapat digunakan dalam hubungan yang hampir mirip antara proses pembentukan dan makna kata bahasa Indonesia dengan proses pembentukan dan makna kata bahasa daerah. Bahasa daerah tidak mempunyai rumusan atau struktur yang baku seperti halnya bahasa Indonesia.
              Teknik perluas juga digunakan dalam penelitian ini. Teknik perluas ialah teknik analisis data dengan cara memperluas satuan kebahasaan yang dianalisis dengan menggunakan satuan kebahasaan tertentu (Kesuma, 2007: 59). Dalam hal ini, satuan kebahasaannya adalah bahasa derah . Teknik ini digunakan untuk mengetahui proses pembentukan dan makna bahasa daerah dengan menggunakan satuan kebahasaan tertentu, khususnya bahasa Indonesia sebagai teknik analisis datanya.

6.      Metode Penyajian Hasil Data
Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan  menggunakan metode informal. Penyajian informal yaitu berupa rumusan dengan menggunakan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993:144-159). Alasan digunakannya metode informal dalam penyajian hasil analisis karena penelitian ini bersifat deskriptif. Maksudnya pendeskripsian dari dari gejala atau keadaan yang terjadi pada objek data penelitian. Interferensi diungkapkan secara apa adanya berdasarkan pada data, sehingga hasil penelitian ini benar-benar merupakan suatu fenomena bahasa yang sesungguhnya.
Data yang sudah dianalisis kemudian diberi penjelasan dibawahnya mengenai jenis interferensi, analisis dan sumber data.





DAFTAR PUSTAKA


Alwasilah, Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta. Rineka Cipta.
Chaer, A. dan Agustina, L. 1995. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Fernandez, Inyo Yos. 1996. Relasi Historis Kekerabatan Bahasa Flores: Kajian Historis Komparatif Terhadap Sembilan Bahasa di Flores. Ende: Nusa Indah.
http://Wordpress.com/Interferensi dan Integrasi Bahasa.2011. Pusat Bahasa Al Ahzar.html.
Irwan. 2006. Karya Ilmiah: “Interferensi Bahasa Daerah Terhadap Perkembangan Bahasa Indonesia”. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Keraf, Gorys. 1994. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
            . 1989. Komposisi. Flores: Nusa Indah.
Kesuma, Tri Mastoyo Jati. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa.Yog-
            karta: Carasvatibooks.
Keraf, Gorys. 1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia
Kridalakasana, Harimurti dan Anton Moeliono (Ed.). 1982. Pelangi Bahasa.
            Jakarta: Bhratara.
Nababan, P. W. J. 1991. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nuraeni. 2003. Skripsi: “Interferensi Bahasa Bugis Terhadap Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Berkomunikasi oleh Siswa SLTP Negeri 4 Kahu Kabupaten Bone”. Makassar: Universitas Muhammadiyah Makassar.
Samsuri. 1994. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.
Sudaryanto, dkk. 1991. Metode Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Perss.
Sumarsono dan Partana. P. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta. Sabda.
Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Praktik. Surakarta: Henary Offset.
Sumarsono, P.P. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.
Setiyowati, Avid. 2008. Skripsi: “Interferensi Morfologi dan Sintaksis Bahasa Jawa dalam Bahasa Indonesia pada Kolom Piye ya? Harian Suara Merdeka”. Semarang: Universitas Diponegoro.