Pages

Ads 468x60px

Jumat, 11 April 2014

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA

Oleh: Ronaldus S. Rilman, S.Pd.



A.      Latar Belakang
Dunia saat ini terasa kecil, hal ini tentu dipengaruhi oleh perkembangan globaisasi yang membawa kita pada tatanan dunia baru. Globalisasi melululantahkan negara-negara berkembang atau biasa disebut dengan negara peri-peri (negara pingiran). Dan salah satunya adalah negara Indonesia, globalisasi dalam pengertian yang lain merupakan problem sejarah. Dengan demikian negara atau bangsa manapun tidak akan bisa lari atau bersembunyi dari kejaran globalisasi.
Globalisasi dimaknai sebagai, kerja sama antara dua negara yang saling menguntungkan (ekonomi/bilateral). Dua negara yang secara ideologi, sosial, dan budaya yang tentunya berbeda. Oleh karenanya, globalisasi diharapkan mampu membawa dunia pada tatanan yang lebih bermartabat. Namun dewasa ini, globalisasi tidak lebih dari mesin pengerak para penganut paham kapitalis.
Harapan kita sebagai bangsa yang besar, yakni Bangsa Indonesia ialah lahirnya “Pendidikan Multikultural” sebagai perekat antara manusia Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke. Pendidikan Multikutural dianggap sangat penting bagi negara-negara yang secara keberadaannya majemuk dan menjadi satu tantangan tersendiri dalam mengelola pluralisme atas etnik atau kelompok yang ada.
Mengingat bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar maka sudah menjadi tangunggjawab bagi generasi saat ini dalam mempertahankan integritas bangsa kita. Di masa yang akan datang dunia mungkin berwajah ganda dan manusia tidak lagi dipandang sebagai senyawa dari manusia lainnya, melainkan seekor binatang (Homo-homenilupus).
Di dalam bukunya Samuel P. Huntington (Benturan Antara Peradaban), meramalkan bahwa akan terjadi benturan antara peradaban. Benturan itu disinyalir akibat beberapa faktor: politik, sosial, budaya, ekonomi, ras, bahkan agama.
Melihat fenomena tersebut, pendidikan di Indonesia haruslah peka menghadapi arus perputaran globalisasi. Pengalaman pahit semasa Orde Baru tidak  perlu berulang lagi. Pola pemaksaan kehendak oleh pemerintah untuk membentuk satu kehidupan yang seragam melalui aturan-aturan dalam segala aspek kehidupan perlu ditinjau ulang dan dipertanyakan.
Gelombang demokrasi menuntut pengakuan perbedaan dalam tubuh bangsa Indonesia yang majemuk. Oleh sebab itu pendidikan multikultural adalah jawaban atas beberapa problematika kemajuan itu. Perlu disadari bahwa proses pendidikan adalah proses pembudidayaan dan cita-cita persatuan bangsa merupakan unsur budaya nasional.
Pendidikan multikultural dapat dirumuskan sebagai wujud kesadaran tentang keaneka ragaman kultur, hak-hak asasi manusia serta pengurangan atau penghapusan bebagai jenis prasangka atau prejudise untuk membangun suatu kehidupan masyarakat yang adil dan maju. Pendidikan multikultural juga dapat diartikan sebagai strategi untuk mengembangkan kesadaran atas kebanggaan seseorang terhadap bangsanya (the pride in one’s home nation).
Di Indonesia pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, plural, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru diberlakukan sejak 1999 lalu hingga saat ini.
Sebaliknya, pada level nasional, berakhir sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan “monokulturalisme” yang nyaris seragam telah memunculkan reaksi balik, yang bukannya tidak mengandung sejumlah implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, juga terjadi peningkatan  gejala “provinsialisme” yang hampir tumpang tindih dengan “etnisitas”.
Kecenderungan ini, jika tidak dikendaikan akan dapat menimbulkan bukan hanya disintegritas sosial-kultural yang amat parah, bahkan juga disintegritas politik. Oleh karena itu pendidikan multikultural dapat menjadi mediator dalam upaya membingkai segala perbedaan dengan motto Bhineka Tunggal Ika.